Rabu, 21 Juli 2010

Menanti Sikap Tegas KPI




WAcana untuk mengategorikan tayangan infotainment menjadi program non-faktual dan memberlakukan sensor atasnya, oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) patut disambut baik.
Pasalnya, tayangan-tayangan tersebut acap kali mengabaikan etika maupun cara kerja jurnalistik yang benar. Buntutnya, tayangan seperti ini hanya akan memunculkan fakta yang mistifikatif dan realitas psikologis yang keliru.

Persoalannya kemudian, bagaimana lembaga-lembaga yang berwenang melakukan sensor tersebut. Pertanyaan ini diajukan karena sangat tidak mungkin KPI maupun lembaga sensor melakukan pemantauan secara seksama atas semua tayangan non-faktual tersebut.
Bayangkan saja, berapa banyak program non-faktual di televisi yang harus dipantau setiap harinya di televisi untuk memastikan apakah tayangan-tayangan tersebut masih berada dalam jalur Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) atau tidak. Cara ini tampaknya tidak akan efesien.

Oleh sebab itu, selain melakukan pemantauan, KPI pun harus menunggu laporan, keluhan ataupun pengaduan dari masyarakat. Di sini peran masyarakat sangat besar. Masyarakat harus aktif dan responsif terhadap tayangan-tayangan yang mereka saksikan di televisi.
Namun, masalahnya adalah independensi KPI itu sendiri. Seperti diketahui, KPI adalah lembaga yang independen. Namun dalam praktiknya bukan tidak mungkin muncul tekanan-tekanan ataupun intervensi dari pihak-pihak luar yang membuat KPI setengah ahti dalam menangani kasus yang ditemukan.

Ada dua jenis intervensi yang mungkin akan dialami oleh KPI. Pertama adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan, baik lembaga keagamaan maupun lembaga non-keagamaan.
Seperti diketahui bersama, pressure group seperti ini memiliki daya tekan yang amat kuat. Jika ada tayangan televisi yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan ataupun norma yang mereka miliki, mereka tidak segan untuk melakukan tekanan terhadap pihak-pihat yang terkait, termasuk KPI.

Padahal, tayangan tersebut belum tentu dikategorikan telah melanggar norma atau merusak moral dalam pandangan umum. Adegan bergandengan tangan antara sepasang kekasih dalam sebuah tayangan sinetron misalnya, dapat saja dianggap tidak sesuai dengan norma agama, dan karenanya tayangan tersebut layak untuk disensor. Namun, dalam pandangan umum, adegan tersebut dapat saja tidak berarti apa-apa.

Jika demikian kondisinya, apakah KPI akan tetap melakukan sensor, atau bahkan menghentikan tayangan? Apakah tekanan dari kelompok-kelompok seperti akan "dilayani"? Seberapa jauh KPI dapat bertahan jika tekanan dari kelompok-kelompok tersebut kian menguat.
Dalam P3SPS dikatakan bahwa pedoman perilaku penyiaran ditetapkan berdasarkan pada nilai-nilai agama, moral, norma yang berlaku dan diterima secara umum di masyarakat, kode etik dan standar profesional dan pedoman perilaku yang dikembangkan oleh masyarakat penyiaran (Bab II Pasal 2 P3SPS).

Menurut hemat penulis, nilai-nilai ini bersifat multi interpretasi. Tafsiran akan meluas, berdasarkan kepentingan setiap kelompok penafsir. Inilah yang disebut dengan relativisme norma.

Akibatnya, penetapan pelanggaran pun harus dilihat secara ekstensif. Artinya, banyak variabel, faktor, serta dimensi yang harus diperhitungkan sebelum sebuah tayangan dikategorikan sebagai "telah melakukan pelanggaran".
Secara sinis dan apriori Nietzche mengatakan bahwa perspektivisme semacam itu membuat kepastian menjadi hal yang mustahil. Padahal, dalam relativisme tidak selalu berarti tidak ada kebenaran objektif.

Tekanan lain yang mungkin akan dialami KPI adalah yang berasal lembaga politik ataupun lembaga pemerintahan? Kecemasan politikus ataupun pemerintah bukan tidak mungkin menghasilkan tekanan tertentu kepada KPI. Sebab, tayangan non-faktual pun bisa saja dilabeli "berbahaya" oleh pemerintah. Apalagi tayangan yang bersifat fiktif pun dapat pula dianggap sebagai representasi realitas, dan mampu memberikan pengar7uh kepada penonton televisi.

Konsekuensinya, ketika tayangan non-faktual tersebut menyinggung atau mengusik eksistensi pemerintah, maka pemerintah akan memandang betapa perlu dilakukan sensor.
Dalam kondisi demikian, menurut hemat penulis, KPI harus bertindak bijaksana dalam "mempertemukan" kepentingan-kepenitngan itu. Tuduhan yang mungkin muncul apabila KPI tidak bertindak bijaksana, adalah pertama, KPI dituduh sebagai agen "perusak moral" bangsa.


Kedua, KPI akan dianggap tidak bisa bersikap independen dan cenderung "membatasi kreativitas" dan "kebebasan berkespresi", atau KPI dianggap sebagai perpanjangan pemerintah yang bekerja untuk kepentingan kekuasaan.

Hal lain yang harus dipertanyakan adalah, sejauh mana KPI dapat melakukan "tekanan" terhadap lembaga penyiaran yang ada. Di era kapitalisasi media seperti sekarang, tampaknya pemberian sangsi terhadap lembaga penyiaran yang memberikan efek jera, kecil kemungkinannya.

Pasalnya, banyak tayangan di televisi yang memang melibatkan kapital yang sangat besar. Kapitalisasi yang kuat nyaris tidak memungkinkan sebuah tayangan disensor, ataupun dihentikan begitu saja.

Seperti sudah mahfum, di dunia televisi, semuanya menjadi komodifikasi. Graeme Burton mengatakan bahwa komodifikasi diterapkan pada artefak kultural berupa program-program televisi. Dalam dunia komodifikasi semua memiliki nilai material, semua diperjualbelikan. Di dalamnya terlibat perputaran uang yang sangat tinggi.

Jadi, jika terjadi penghentian tayangan, akan terjadi kerugian yang sangat besar, yang terkait dengan banyak pihak. Jadi, sulit bagi lembaga penyiaran untuk "tunduk" begitu saja kepada teguran KPI.

Jika kondisinya begitu, maka KPI harus memiliki "daya paksa" yang lebih untuk membuat lembaga penyiaran tersebut mematuhi P3SPS. Masyarakat tentu tidak mau jika KPI menjadi lembaga yang impoten. KPI harus mandiri, memilki integritas, resisten terhadap intervensi pihak-pihak lain, berwibawa, memiliki "kemampuan untuk memaksa", dan disegani.
Kita tunggu saja bagaimana KPI memainkan perannya agar tayangan yang ada lebih membawa manfaat.***

Selasa, 22 Juni 2010

“Garinisme” Bukan Standarisasi Industri Televisi




Menarik menyimak catatan Eka Fenderi Putra mengenai "bahasa gambar " Garin Nugroho yang dimuat dalam Suara Karya edisi, Sabtu, 5 Juni 2010 lalu. Namun dalam tulisan tersebut, ada beberapa gagasan Eka yang perlu diluruskan.

Salah satunya adalah, tayangan iklan televisi dewasa ini memiliki kecenderungan yang sama dengan film ataupun iklan yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Bahkan kemudian Eka menjadi kebingungan untuk melihat, mana karya Garin Nugroho yang asli maupun yang palsu.
Di samping itu Eka juga memiliki ketakutan bahwa kelak akan terjadi booming “bahasa gambar” Garin di televisi. Artinya, gaya tersebut akan menjadi "mainstream" dalam iklan ataupun berbagai bentuk tayangan di televisi.

Menurut hemat saya, Eka agak gegabah dengan mengatakan bahwa dewasa ini terjadi "gelombang gaya Garin Nugroho" --atau saya sebut sebagai “Garinisme”--pada iklan-iklan di televisi, terutama iklan yang dikeluarkan oleh departemen-depeartmen melakukan kampanye tertentu.

Saya katakan gegabah karena Eka tidak menyebutkan data, seberapa sebanyak muncul iklan "bergaya Garin" tersebut dalam satu bulan. Berapa persentasinya dibandingkan jumlah iklan televisi secara keseluruhan. Apakah persentasi tersebut dapat dinamai sebuah “gelombang” yang mewabah.

Sebab menurut pengamatan penulis, tidak banyak iklan televisi yang mengikuti gaya Garin seperti yang dimaksudkan oleh Eka. Sebaliknya penulis melihat semakin banyak iklan televisi yang kreatif, mengandung kebaruan dalam ide, dan tidak selalu memilki gaya sama seperti produksi iklan yang disutradarai oleh Garin.

Ada satu alasan kenapa iklan-iklan yang kreatif dan mengandung kebaruan itu muncul. Pertama adalah keperluan untuk melakukan pembedaan. Pembedaan ini perlu agar di tengah hiruk-pikuknya iklan yang menyerbu televisi, iklan tersebut dapat menonjol dan menarik perhatian audiens. Jika iklan yang dibuat tidak mampu menarik perhatian publik, maka iklan tersebut akan dilupakan begitu saja.

Alasan kedua, persaingan antara biro iklan yang semakin ketat. Seperti diketahui dunia iklan adalah dunia persaingan ide. Ide yang dianggap “datar-datar” saja tidak akan menarik perhatian pengiklan. Itu sebabnya para kreator iklan akan berusaha memunculkan ide iklan terbaik agar kliennya mau terus bekerja sama dengannya. Apalagi kue iklan selalu bertambah setiap tahunnya.

Jika biro iklan dan para kreator iklan tidak mampu bersaing, tentu saja mereka tidak bakal "kecipratan" kue iklan tersebut. Maka tidak mengherankan jika mereka membuat iklan semenarik mungkin dan dapat menyampaikan pesan yang ingin dikomunikasikan secara efektif.
Jadi, tidak semata-mata soal "gaya Garin". Gaya Garin yang selalu spektakuler itu tidak selalu bisa menjawab persoalan-persoalan marketing. Dan sudah diinsafi oleh banyak pekerja iklan, iklan televisi dengan kualitas sinematografi yang yahud, tidak selalu efektif sebagai iklan. Lagi-lagi hal ini tergantung dari "kemana" pesan akan diarahkan, apakah memang hendak meningkatkkan penjualan produk atau meningkatkan awareness serta pencitraan belaka.

Menurut hemat penulis, iklan, sebagai sebuah proses komunikasi, harus selalu berorientasi pada pesan, tidak peduli apakah iklan tersbut "beraroma" Garin atau tidak. Bahkan jika iklan itu berkesan norak sekalipun, hal itu sah-sah saja asal komunikasi yang dibangun dengan komunikan bisa berjalan dengan baik.

Kemudian, jika dalam artikel sebelumnya Eka mengungkapkan soal standarisasi tayangan televisi yang harus memiliki level estetika mirip karya-karya Garin, saya justru tidak melihat hal tersebut. Tayangan yang tergolong tidak memiliki nilai estetika Garin, toh masih banyak ditayangkan dan meraup rating tinggi. Bahkan pengiklan pun tidak segan untuk meletakkan iklannya dalam program-program tersebut.

Standarisasi seperti yang dimaksudkan oleh Eka Fendi memang tidak pernah ada, yang ada adalah ”penjiplakan” pada level tertentu sehingga peluang merebut kue iklan semakin besar. Lihat saja program-program komedi di sejumlah stasiun televisi dengan kemasan program yang bentuknya tidak terlalu jauh berbeda. Namun itu pun dilakukan dengan tetap memberikan pembeda antara satu tayangan komedi dengan komedi lainnya.

Lalu, dalam essay yang ditulisnya, Eka juga menyampaikan kecemasannya terhadap keseragaman program televisi, yang ia duga akan bermuara pada kejenuhan. Kejenuhan ini yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi.

Saya kira, ini bukan persoalan kejenuhan. Sebab, jika penyeragaman itu sudah terjadi pada level yang paling parah, audiens televisi dapat dengan mudah berpaling dari media-media baru seperti internet yang disebut-sebut lebih demokratis. Atau dengan berlangganan televisi berbayar misalnya. Dengan berlangganan televisi berbayar audiens akan mendapat akses informasi yang lebih beragam.

Namun, keprihatinan sebetulnya harus lebih kepada kaburnya realitas yang disuguhkan oleh media massa. Media massa, sebut saja televisi, yang menawarkan tayangan yang seragam, telah membuat audiens yakin bahwa realitas yang ditampilkan oleh televisi adalah yang riil. Ketika semua televisi menayangkan kisah koruptor kelas kakap di televisi yang menyeret banyak nama pejabat publik, maka massa akan memiliki pemahaman bahwa itulah realitas ke-Indonesiaan yang ia hadapi, yakni Indonesia yang korup, penuh kebohongan, moralitas yang karatan, hingga hukum dengan rapor ”jeblok”.
I
nilah efek media massa yang menghasilkan budaya massa. Budaya massa dalam televisi tidak lagi berupa sinetron, reality show, ”pertunjukan-pertunjukan perjodohan” ataupun pencarian idola, tetapi juga berita yang ditawarkan sebagai barang konsumsi.

Tidak mengherankan jika Baudrillard, seperti dikutip oleh Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan, bahwa manusia tidak lebih dari perpanjangan televisi, yakni manusia menjadi refleksi dari model-model dan citra yag muncul di media massa, yang muncul dari lubang hitam dan siap menyerap setiap tanda yang dimunculkan oleh media massa.
Jika televisi menyajikan ini semua, maka di titik inilah terjadi penunggalan komunikasi. Penunggalan tidak hanya berarti keseragaman dalam memandang realitas, tetapi juga menjadi proses pemiskinan imajinasi secara koletif. Inilah yang memicu kemandulan kreativitas secara masif. Itu sebabnya perlu diupayakan untuk keluar dari kondisi ini.

Kita kira, pekerja-pekerja media massa, terutama televisi, sedang ditunggu sebuah kerja besar untuk mengubah ini semua. Ya, sebuah heterogeninasasi seperti yang diusulkan oleh Eka Fenderi. Namun lagi-lagi semua itu harus dikompromikan dengan kekuatan kapitalisme yang hampir tidak dapat ditolak di masa ini.***

Kamis, 01 Mei 2008

Kebebasan Tanpa Ketulusan (Kebebasan Pers Versus Determinisme Ekonomi)

Ketika bicara soal kebebasan pers, memori saya selalu mengeluarkan satu nama yakni Tempo. Mengapa demikian? Sebab Tempo adalah salah media yang terkena pencabutan SIUPP (Surat Ijin Penerbitan Pers) pada 2 Juni 1994. Alasannya, Tempo telah mengganggu stabilitas negara dan telah gagal menjalankan prinsip pers Pancasila (Steele, 2007).

Hal yang menarik bagi saya, belum pernah terjadi gelombang protes yang sangat hebat atas pembreidelan surat kabar seperti yang terjadi setelah Tempo, dan dua media lain (Editor dan Detik) diberangus. Saat itu ribuan massa tumpah ke jalan untuk berdemonstrasi meminta pemerintah mengijinkan ketiga media yang dibreidel terbit kembali. Mulai dari wartawan, mahasiswa, anggota LSM, seniman kala itu gencar melakukan aksi menentang keputusan pemerintah.

Gelombang protes ini mengindikasikan bahwa pada saat itu masyarakat luas telah menyadari arti penting kebebasan pers. Masyarakat telah memahami, pembunuhan terhadap pers adalah penutupan akses informasi yang sesungguhnya menjadi hak masyakarat. Lebih jauh, pembreidelan pers adalah bahaya mati bagi demokratisasi.

Tetapi hal itulah yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu pers benar-benar mengalami ketidakbebasan. Pers selalu berada di bawah ancaman kekuasaan. Berita yang dinilai merugikan atau mencoreng kekuasaan akan selalu dianggap sesuatu yang mengganggu stabilitas dalam negeri. Konsekuensinya berita tersebut harus dihapus dari halaman media. Jika tidak, media bersangkutan harus dihapus dari peredaran.

Bahkan, bukan hanya kepada media cetak, media elektronik pun mengalami perlakuaan yang sama. Salah satu peristiwa yang mengindikasikan hal ini adalah diakhirinya tayangan Perspektif di SCTV pada tanggal 16 September 1996 (Taufik Abdullah dkk, 2003). Seperti diketahui, tayangan ini selalu menghadirkan tokoh-tokoh kritis yang acap kali melakuan kritik terhadap pemerintah.

Masih dengan SCTV, sejumlah pejabat pernah menelepon pengasuh acara Liputan 6 yang pada tanggal 17 Mei 1998 menayangkan wawancara Ira Koesno dengan Sarwono Kusumaatmadja, mantan Meneteri Lingkungan Hidup. Saat itu Sarwono menggunakan istilah ”cabut gigi” yang menunjuk bahwa presiden Soeharto saat itu harus mundur. Tak ayal lagi, sangsi pun dikenai pada mereka yang terlibat dalam peristiwa ini (Tim Redaksi LP3ES, 2006)

Hal inilah yang selama lebih dari tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa telah membuat kehidupan pers Indonesia hidup antara ada dan tiada. Pers Indonesia dikatakan ”ada” karena pada kenyataannya media-media umum terbit secara teratur dan beredar luas di pasaran. Dikatakan ”tiada” karena pers tidak dapat dengan bebas melakukan fungsi kontrol dengan baik, terutama kontrol terhadap pemerintah. Kondisi ini saja tidak jauh dari negara-negara yang menganut sistem pers otoritarian. Artinya, kontrol terhadap pers dilakukan oleh pemerintah secara otoriter oleh pemegang kekuasaan. Pemaknaan dan interpretasi ketegori suatu berita pun ada pada pemegang kekuasaan.

Padahal untuk Indonesia, secara formal legalistis, pers nasional memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan pengolahan bahan berita untuk kemudian menyiarkanya sebagai berita. Namun hal tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Penerangan No: 01 Tahun1984.

Namun sayangnya tidak ada batas yang jelas dan tegas berkaitan dengan konsepsi ”bebas dan bertanggung jawab” ini. Akibatnya banyak pers yang ”tersandung” dalam melakukan tugas profesinya. Sanksi yang paling akhir dari ”ketersandungan” ini adalah pencabutan SIUPP. Keadaan ini tentu saja sangat merugikan kehidupan pers nasional.

Untung saja hal tersebut kini telah berakhir. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah memungkinkan pers nasional dapat kembali bernapas lega. Presiden Prof. Dr. BJ Habibie yang hadir menggantikan Soeharto, kemudian mencabut Peraturan Menteri Penerangan No: 01 Tahun 1984 dan menggantikannya menjadi Peraturan Menteri No: 01 tahun 1998. Kondisi ini mempermulus gerak pers nasional menuju pers yang bebas dan merdeka (free and liberated press).

Sejak pencabutan peraturan menteri tersebut, pers memang mengalami masa kebebasan yang hebat. Pers kembali dapat menjalankan fungsi sosial dan kontrol dengan lebih baik. Bahkan ketika Presiden Abdurahman Wahid mencabut undang-undang no: 21 tahun 1982 yang tidak lagi mensyaratkan SIUPP untuk menerbitkan surat kabar, jumlah media cetak yang terbit kian bertambah. Hal ini menandakan bahwa masyarakat akan semakin mudah memperoleh informasi yang obyektif dan akurat, dengan pilihan media yang variatif.

Akan tetapi, pertanyaan yang patut digulirkan adalah, sejauh mana pers menjalankan kebebasannya. Apakah kebebasan yang dialami pers nasional saat ini benar-benar telah membuatnya menyajikan berita-berita yang yang objektif dan bebas dari tarikan-tarikan kepentingan lain. Apakah ada pers yang benar-benar bebas dan obyektif?

Logika ekonomi
Apabila kita melihat lebih jauh kondisi pers di Indonesia dewasa ini, sangat jelas bahwa logika-logika ekonomi kian mendapat tempat. Romatisme pers perjuangan seakan-akan telah dilupakan. Kisah-kisah seperti Marco Kartodikromo ketika menerbitkan Doenia Bergerak di tahun 1915, Imam Soepardi ketika mulai menerbitkan Panjebar Semangat, ataupun Mochtar Lubis yang konsisten dengan muckraking medianya bersama Indonesia Raya, sudah lama tidak terdengar lagi gaungnya. Hal yang kini terjadi karena media yang terbit saat ini tidak hanya berbicara soal idalisme dan perlawanan terhadap penindasan penjajah, tetapi juga bicara soal bisnis.

Pekawinan antara bisnis dan idalisme ini tentu saja akan membuat corak tersendiri dalam kehidupan pers nasional. Berita bukan lagi semata-mata produk jurnalistik, tetapi menjadi komoditi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi pers. Tentu saja bukan hanya produk jurnalistik yang mulai berorientasi pasar, tetapi juga struktur organisasi, editorial, keuangan, percetakan hingga ”alam pikir” para jurnalis yang bekerja di dalamnya. Jakob Oetama, salah satu tokoh pers nasional, mengistilahkan hal ini dengan one line of command (Oetama, 2001). Tentu saja di dalamnya koordinasi, sinergi dan forum-forum bersama menjadi sangat penting dalam sebuah perusahaan media.

Sajian-sajian media kini tidak melulu mencoba memenuhi kebutuhan pembacanya, tetapi juga menciptakan kebutuhan bagi masyarakat luas. Kolaborasi antara media dan pengiklan menjadi sangat penting. Dengan memanfaatkan kekuatan media, pengiklan dan media menciptakan berbagai program ataupun rubrikasi bagi pembaca dengan harapan pesan yang ingin disampaikan dapat menghasilkan efek yang maksimal. Bahkan program-program off air juga gencar dilakukan untuk memberikan efek lebih kuat dari pesan-pesan tersebut. Apabila dua kepentingan ini tidak dapat dipertemukan, maka media akan segera ditinggalkan oleh pengiklan.

Di sini lain pengiklan juga menuntut media memliki audienece yang terus bertambah. Semakin banyak audience yang dimiliki media (misalnya saja readeship) semakin besar kemungkinan pengiklan memilih media tersebut sebagai partner. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan media tersebut memperoleh bagian ”kue iklan”. Kenyataan inilah yang membuat media harus bersaing dan berusaha keras untuk menarik perhatian audiens. Di antara banyak media--cetak maupun elektronik--persaingan menjadi sangat ketat. Semua berusaha untuk mengambil alih perhatian audience.

Banyak hal yang dilakukan oleh media untuk mengambil alih perhatian audience, misalnya saja kecepatan dalam menyajikan berita. Ini didasari suatu asumsi bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan akurat tentang berbagai hal. Namun belakangan kecepatan bukanlah satu-satunya cara untuk merebut perhatian audience. Agar tidak ditinggalakan audience, media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk ke kecenderungan menampilkan hal yang spektakuler dan sensasional. Karena ingin menyentuh banyak audience dan tidak merugikan, maka dicari suaru program dengan format yang dapat menyenangkan semua orang (Haryatmoko, 2007).

Hal yang sama terjadi juga dengan produk-produk jurnalistik yang disajikan. Berita-berita yang disajikan tidak hanya skadar menyajikan informasi yang dianggap penting bagi audience, tetapi juga harus dapat disesuaikan dengan isu-isu terbaru. Semakin sering sesuatu hal dibicarakan oleh masyarakat, semakin sering hal tersebut dimunculkan di media massa. Kasus percerian sepasang seleberitis misalnya, akan selalu muncul di media massa sepanjang hal tersebut dibicarakan di masyarakat luas. Sebaliknya, semakin gencar media massa menyebarkan berita soal pasangan selebritis tersebut, semakin hebat pula masyarakat menganggap hal tersebut penting diketahui.

Di sini, hal yang paling penting adalah upaya agar audience dapat menyaksikan sajian yang disodorkan oleh media. Semakin banyak audience yang menyaksikan berita atau program yang ditayangkan, akan semakin mudah media memporleh iklan. Di dunia televisi hal ini diukur dari rating, sedangkan untuk media cetak diukur dengan jumlah pelanggan atau pembaca.
Tentu saja hal ini membuat siapa pun menjadi curiga bahwa media yang ada di sekitar kita telah berevolusi menjadi media komersial dan beroperasi dalam sistem kapitalistik, yang karenanya informasi harus dikemas, didistribusikan dan dijual dengan berbagai cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media, yang juga menjamin kelangsungan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan (Armando dalam Schechter, 2007).

Dedy N Hidayat (Tim LP3ES, 2006), menyikapi hal ini menegaskan bahwa kondisi di atas menjadikan masyarakat atau publik sebagai komoditi sekaligus buruh. Publik ”dijual” kepada pengiklan, sehingga publik memberikan nilai tambah kepada program-program tayangan televisi. Publik tidak pernah menjadi konsumen yang sesungguhnya.

Berangkat dari hal di atas, kiranya dapat dipertanyakan, apakah masih ada lagi kebebasan pers apabila masih sangat banyak tarikan kepentingan di sekitar pers? Kebebasan pers seperti apakah yang tengah kita hadi ketika pers di satu sisi harus berada di dalam determinisme ekonomi seperti itu? Realitas seperti apakah yang disajikan dalam pers nasional kita apabila sajian pers yang ditayangkan selalu merujuk kepada kepentingan kapital dalam sebuah industri media? Apa pula yang akan terjadi apabila terjadi benturan kepentingan antara pemilik modal sebuah media dengan kerja jurnalistik sebuah media? Mungkinkah ada pers yang independen?
Untuk menjawab hal ini tampaknya harus dipetakan dimensi komunikasi yang berkait dengan dunia jurnalisme. Hal ini, meminjam istilah Boris Libois (Haryatmoko, 2007), disebut dengan deontologi jurnalisme. Tiga dimensi yang dimaksud adalah, pertama, hormat dan perlindungan hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mendapatkannya.
Kedua, hormat dan perlindungan dan hak individual lain dari warga negara, termasuk di dalamnya hak konsumen, hak berekspresi lewat media, hak citra yang baik, dan hak akan rahasia komunikasi. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat.

Dari ketiga dimensi yang dikemukakan di atas jelas bahwa pada dasarnya mayarakat luas memiliki hak untuk bebas mengakses dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini negara sangat bertanggung jawab untuk memenuhinya. Namun dalam kondisi determinisme ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, masyarakat terancam tidak akan mendapatkan informasi atau sajian yang semestinya. Sebaliknya, masyarakat hanya akan menjadi objek, tidak ada partisipasi sama sekali di dalamnya. Media menjadi jauh dari kepentingan masyarakat. Media massa tidak lagi menjadi ruang publik seperti yang dicita-citakan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf teori kritis dari Jerman. Menurut Habermas, media seharusnya menjadi the market places of ideas, dimana gagasan terbaiklah yang dapat ditawarkan atau dijual.

Media Publik
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat menghadapi hal ini? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kepentingan publik tidak diabaikan. Pertama-tama adalah ”migrasi” besar-besaran kepada media-media alternatif yang independen yang terlepas dari kepentingan atau determinisme ekonomi. Hal ini dimungkinkan apabila memang terjadi kesadaran kolektif yang sangat besar. Media-media publik mungkin bisa menjadi pilihan.

Menarik sebenarnya untuk melihat bagaimana media publik, yang hakikatnya juga diawasi dan didedikasika kepada publik (Ishadi dalam P Swantoro dkk, 2003), dikembangkan dan dijadikan alternatif. Sejauh ini sejumlah negara telah mengembangkan hal ini seperti Skandinavia, Jerman, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Media-media seperti biasanya independen dan jauh dari kepentingan politik, ekonomi, maupun kelompok sosial tertentu. Di luar Indonesia konsep media publik ini dianut oleh Inggris dengan BBC (British Broadcasting Commision) dan Jepang dengan NHK-nya. Untuk kasus Indonesia, menurut Ishadi SK, TVRI dan RRI sangat potensial untuk dijadikan media publik. Hal ini mengingat lembaga ini Hanya saja yang dibutuhkan untuk menuju ke arah sana adalah political will dari eksekutif, legislatif dan masyarakat.

Danny Schechter (2003) mengutarakan bahwa sesungguhnya media publik dapat memberikan sumbangan besar dalam proses demokratisasi suatu masyarakat. Namun sayangnya, demikian Schechter, kepercayaan publik Amerika terhadap media publik cenderung menurun. Hal ini disebabkan media publik di negara itu PBS (Public Broadcasting Service) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan publik. Hal ini menunjukkan bahwa media publik
Radio-radio komunitas yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia sebenarnya merupakan medium publik yang potensial untuk dikembangkan. Sayangnya pengelolaan yang masih sangat sederhana tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan publik. Kendala dana pun menjadi persoalan tersendiri.

Namun demikian, untuk mengurangi independensi media, sulit kiranya jika kita serta merta menghilangkan nilai bisnis dalam hal ini iklan. Iklan bagaikan darah dalam indutri media. Bahkan tidak berlebihan apabila media kini dalam kondisi ”digerakkan” oleh iklan, (advertising driven). Oleh sebab itu, agar publik masih dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan dari media, sebuah lembaga media harus menjalankan keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah, media harus tetap melayani kebutuhan publik, dengan tetap memperhatikan aspek bisnis. Artinya, sebuah lembaga media harus selalu dapat menyediakan ruang-ruang bagi idealisme. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam produk-produk media dengan lebih baik. Dalam hal produk jurnalistik misalnya, media harus mengembangkan jurnalistik yang ideal dan kredibel sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari publik. Hal ini tentunya akan menaikkan rating dengan sendirinya.

Tentu saja hal ini sangat ditentukan oleh will dari pemilik atau pemegang modal dari sebuah media. Landasang filosofisnya jelas, untuk media elektronik misalnya, frekuensi yang digunakan hakikatnya dalah aset dari masyarakat luas, bukan milik perorangan. Adalah jika penggunaan milik publik ini juga dikembalikan untuk kepentingan publik sendiri. Lalu, untuk media cetak, dapat dibayangkan berapa banyak pohon (sebagai bahan baku kertas) harus ditebang. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada ekosistem dan lingkungan tempat publik berada. Secara moral-etis, adalah wajar jika media cetak pun memikirkan kebutuhan publik.

Sepertinya, kita masih bisa berharap pers memiliki kebebasan. Dengan begitu, masyarakat akan memperoleh sesuatu yang lebih berharga dari media, termasuk produk-produk jurnalistiknya. Inilah ketulusan dari media yangh diharapkan oleh publik. Tentu saja dengan catatan, idealisme dari pengelola dan pemilik modal harus tetap ada. Jika tidak, pers kita lagi-lagi akan kompromis. Hal ini akan merugikan masyarakat secara luas.***



Daftar Pustaka
1. Abdullah, Taufik dkk, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Yayasan Obor Indonesia 2003
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, 2007
2. IN, Soebagijo, Jagat Wartwan Indonesia, Gunung Agung 1990
3. Oetama, Jakob, Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penerbit Buku Kompas 2001
4. Swantoro dkk, Humanisme dan Kebebasan Pers, Penerbit Buku Kompas 2001
5. Schechter, Danny, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Yayasan
Obor Indonesia 2007-12-28
6. Steele, Janet, Wars Within, Perjalanan Tempo dan Orde Baru, Graffiti Pers, 2007
7. Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6 SCTV, Antara Peristiwa dan Ruang Publik,
LP3ES 2006

Televisi, dari Kekerasan hingga TV Publik

Pada bab 8 buku Media Now, dibahas berbagai hal seputar pertelevisian, mulai dari sejarah, perkembangan-perkembangan dari sisi teknologi, industri, hingga kemungkinan-kemungkinan perubahan televisi di masa datang.

Salah satu bagian yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana televisi telah mengambil sebagian besar kue iklan media massa. Bagi para pengiklan, televisi telah menjadi pilihan pertama untuk pemasangan iklan-iklan dari produk yang diharapkan dapat laku di pasaran. Mereka menganggap beriklan di televisi adalah cara paling efisien dan efektif untuk mencapai konsumen potensial dalam waktu seketika.

Sekadar melongok sejarah, di Amerika televisi telah dilirik oleh para pengiklan sejak tahun 1950 untuk membujuk penonton membeli produk yang ditawarkan. Kala itu Amerika telah memilliki 98 stasiun televisi dengan sekitar 4 juta pesawat televisiyang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saat itu jumakah iklannya telah mencapai $ 170 juta. Bahkan di tahun 1954 jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipatnya, yaitu $ 800 juta, atau sepuluH poersen dari total belanja iklan. Hanya satu tahun kmeudian nilai iklan yang dipasang di televisi mencapai lebih dari $ 1 miliar, dan di tahun 1969 sudah mencapai $ 3,6 juta miliar (Rivers dan Peterson, 2003). Kini rata-rata belanja iklan di negeri itu sekitar $ 5,4 miliar (Straubhaar, 2006).

Di Indoensia sendiri televisi telah menjadi industri dengan investasi, overhead dan turn over yang sangat tinggi. Semyanya didukung oleh iklan yang dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, sekitar 20%-30% dalam setahun (Ishadi, 2001).

Hal ini memperlihatkan bagaimana para pengiklan berani memberi iklan dengan harga yang sangat mahal. Hal ini tentu saja bukan semata-mata biaya produksi televisi yang mahal, tetapi juga karena efek televisi yang sangat hebat untuk memengaruhi dan menanamkan pesan lewat media ini.

Logika ekonomi
Konsekuensi dari kehadiran iklan ini adalah, televisi menganut logika-logika ekonomi. Semua yang disajikan telEvisi harus berorientasi pasar. Artinya, dalam perkembangannya, sajian telvisi menjadi komoditi. Di sini lain pengiklan juga menuntut media memliki audienece yang terus bertambah. Semakin banyak audience yang dimiliki media (misalnya saja readeship) semakin besar kemungkinan pengiklan memilih media tersebut sebagai partner. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan media tersebut memperoleh bagian ”kue iklan”. Kenyataan inilah yang membuat media harus bersaing dan berusaha keras untuk menarik perhatian audiens. Di antara banyak media--cetak maupun elektronik--persaingan menjadi sangat ketat. Semua berusaha untuk mengambil alih perhatian audience.

Banyak hal yang dilakukan oleh media untuk mengambil alih perhatian audience, misalnya saja kecepatan dalam menyajikan berita. Ini didasari suatu asumsi bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan akurat tentang berbagai hal. Namun belakangan kecepatan bukanlah satu-satunya cara untuk merebut perhatian audience. Agar tidak ditinggalakan audience, media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk ke kecenderungan menampilkan hal yang spektakuler dan sensasional. Karena ingin menyentuh banyak audience dan tidak merugikan, maka dicari suatu program dengan format yang dapat menyenangkan semua orang (Haryatmoko, 2007).

Tidak mengherankan jika televisi dianggap sebagai ”obat bius siap pakai” (plug in drug). Bahkan disebut-sebut kecanduan televisi telah menjangikiti orang lebih luas ketimbang kecanduan lain, bahkan lebih menakutkan karena program yang dilihat di tekevisi telah memrogram diri penontonitu sendiri, memengaruhi pandangan mereka terhadap dunia, dam apa yang harus mereka kagumi (Schetner, 2007)

Di sini, hal yang paling penting adalah upaya agar audience dapat menyaksikan sajian yang disodorkan oleh media. Semakin banyak audience yang menyaksikan berita atau program yang ditayangkan, akan semakin mudah media memporleh iklan. Di dunia televisi hal ini diukur dari rating, sedangkan untuk media cetak diukur dengan jumlah pelanggan atau pembaca.
Tentu saja hal ini membuat siapa pun menjadi curiga bahwa media yang ada di sekitar kita telah berevolusi menjadi media komersial dan beroperasi dalam sistem kapitalistik, yang karenanya informasi harus dikemas, didistribusikan dan dijual dengan berbagai cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media, yang juga menjamin kelangsungan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan (Armando dalam Schechter, 2007).

Dedy N Hidayat (Tim LP3ES, 2006), menyikapi hal ini menegaskan bahwa kondisi di atas menjadikan masyarakat atau publik sebagai komoditi sekaligus buruh. Publik ”dijual” kepada pengiklan, sehingga publik memberikan nilai tambah kepada program-program tayangan televisi. Publik tidak pernah menjadi konsumen yang sesungguhnya.

Kekerasan
Hal lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas dari bab 8 buku Media Now adalah isi dari tayangan televisi, terutama ketrkaitannya dengan anak-anak. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam televisi, berkecenderiungan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Hal inilah yang membuat banyak pihak prihatin. Apalagi, menurut Straubhaar, kekerasan dalam televisi kini semakin mendapat perhatian ketimbang seks.

Wajar saja penulis buku Media Now menyatakan demikian, sebab hasil studi kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat memperlihatkan kekerasan dalam televisi sangat memberikan pengaruh buruk pada anak-anak (Haryatmoko, 2007). Pengaruh buruk tersebut adalah meningkatakan perilaku agresif pada anak-anak, menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan, dan meningkatkan rasa takut.

Untuk merespon ini, pihak yang berwenang mengontrol hal ini sudah sepantasnya melakukan tindakan.Tentu saja dengan mengurangi tayangan berbau kekerasan, apalagi pada jam-jam dimana anak-anak masih memuiliku peluang untuk menyaksikan televisi.

Namun persoalannya kemudian adalah bagaimana mendfinisikan kekerasan itu sendiri.Apakah kekerasan selalu berkaitan dengan bentrokan fisik, ekspose terhadap darah dan luka, maupun kematian saja? Lalau bagaimana dengan acara sport yang mengajarkan sportivitas, namun memperlihatkan kekerasan seperti bentrokan fisik dalam pertandiangan sepak bola? Apakah ini dapat dikategorikan tayangan yang dilarang?

Saya kira, pemerintah atau pihak berwenang akan melakukan pembatasan tindakan kekerasan, seyogyanya temukan dulu batasan-batasan kekerasan yang dimaksud agar tidak memicu rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang akan dikenai tindakan.

Hal yang tidak kalah menarik adalah masalah keberadaan media publik. Dalam buku dismpaikan bahwa media publik terancam keberadaannya. Padahal media publik PBS (Public Broadcasting Service) punya kesempatan untuk berkembang. Danny Schechter (2003) mengutarakan bahwa sesungguhnya media publik dapat memberikan sumbangan besar dalam proses demokratisasi suatu masyarakat.

Namun sayangnya, demikian Schechter, kepercayaan publik Amerika terhadap media publik cenderung menurun. Hal ini disebabkan media publik di negara itu PBS (Public Broadcasting Service) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan publik. Media publik, yang hakikatnya juga diawasi dan didedikasikan kepada publik (Ishadi dalam P Swantoro dkk, 2003), dapat dikembangkan dan dijadikan alternatif. Sejauh ini sejumlah negara telah mengembangkan hal ini seperti Skandinavia, Jerman, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Media-media seperti biasanya independen dan jauh dari kepentingan politik, ekonomi, maupun kelompok sosial tertentu.

Di luar Indonesia konsep media publik ini dianut oleh Inggris dengan BBC (British Broadcasting Commision) dan Jepang dengan NHK-nya. Untuk kasus Indonesia, menurut Ishadi SK, TVRI dan RRI sangat potensial untuk dijadikan media publik. Hal ini mengingat lembaga ini Hanya saja yang dibutuhkan untuk menuju ke arah sana adalah political will dari eksekutif, legislatif dan masyarakat.****

Daftar Pustaka
1. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, 2007
2. Rivers, William, Jay W Jensesn dan T Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media, 2003
3. Schechter, Danny, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia 2007-12-28
4. Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6 SCTV, Antara Peristiwa dan Ruang Publik,
5. LP3ES 2006Swantoro, Humanisme dan Kebebasan Pers, Kompas 2003

Cyberspace dan Matinya Realitas

Sejak internet dikenal dengan begitu populer, saya melihat ada sebuah revolusi baru dalam dunia komunikasi. Dengan hadirnya internet, waktu dan jarak dipersingkat. Untuk berkomunikasi misalnya, dengam biaya sangat murah, seseorang dapat bertukar informasi dengan sangat cepat, misalnya dengan chatting. Bahkan sejumlah perangkat komunikasi messengger semacam ini, seseorang dapat melakukan komunikasi secara audio. Wajar jika perkembangan internet tersebut dunia sekan telah dilipat. Jarak dan waktu telah dipangkas habis.

Bahkan Thomas L Friedman mengatakan bahwa internet adalah salah satu pendatar dalam era globalisasi. Hal inilah yang membuat investor melihat hal ini sebuah peluang bisnis, sebuah gelembung (bubble) yang sepertinya tidak terbatas. Mengapa demikian? Mereka melihat adanya sebuah kecenderungan orang untuk mendigitalkan segalah hal, mengubahnya menjadi byte dan ditransmisikan melelaui internet. Dengan begitu, permintaan akan layanan web serta serat optik akan terus meningkat tanpa henti (Friedman, 2006).

Melihat hal ini Bill Gates sendiri menganggap internet tidak ada bedanya dengan demam emas di Amerika di masa lampau. Ia menggambarkan bahwa ketika demam emas terjadi, yang justru menghasilkan uang adalah industri pendukung demam emas seperti perusahaan pembuat sekop, Levi’s, dan kamar-kamar hotel. Investasi di bidang-bidang ini justru lebih besar dari industri emas itu sendiri (Friedman, 2006).

Hal di atas menggambarkan betapa menggiurkannya investasi di dunia pendukung internet ini, misalnya saja di bidang industi serat kabel optik yang ditanam di laut yang secara dramatis telah memangkas biaya pengirman data ke seluruh dunia.

Kenyataan ini bergerak pada penggunaan intenet itu sendiri. Orang mulai memikirkan bagaimana memberdayakan internet dan menghasilkan keuntungan yang besar. Dari sinilah kemudian muncul Teori Long Tail yang dikemukakan oleh Chris Anderson, bahwa dengan internetlah pasar-pasar khusus, niche, dapat diraih.

Teori Long Tail sendiri oleh Chris Anderson didefinisikan sebagai berikut: bergesernya kultur dan ekonomi kita yang terus menjauh dari fokus terhadap sejumlah hit yang relatif sedikit (produk-produk dan pasar-pasar utama) di bagian Head pada kurva permintaan, dan beralih ke pasar-pasar khusus (niche) yang banyak sekali di bagian Tail (Anderson, 2007).

Tidak hanya di bidang eskonomi, dengan internet, akses informasi pun terbuka semakin lebar. Sejumlah mesin pencari (search engine), seperti Google ataupun Yahoo!, telah memudahkan seseorang untuk menemukan informasi yang nyaris tidak terbatas di dunia maya. Begitu pula dengan Wikipedia (Wiki diambil dari istilah Hawaii yang berarti ”cepat”) yang menyediakan berbagai pengetahuan layaknya ensiklopedia.

Pengingakaran dunia ril
Di sini kita bisa melihat bahwa gelombang internet telah mengubah wajah dunia. Ada peluang-peluang baru, ada kecenderungan-kecenderungan baru, dan ada harapan-harapan baru di sana--bahkan kontroversi-kontroversi baru, dimana terjadi akumulasi hitungan-hitungan kapital yang sangat besar. Perlahan-lahan sebuah pasar besar sedang terbentuk.

Di samping itu, internet yang menciptakan dunia cyber, telah membangun sebuah realitas cyber yang berbeda dengan realitas sosiologis sehari-hari. Dalam dunia cyber telah terbangun suatu masyarakat cyber dengan ideologi, nilai-nilai, etika dan bahkan filosofi yang berbeda dengan yang dianut oleh masyarakat.

Contoh sederhananya saja, dunia bermain. Dalam realitas sosiologis, bermain biasanya dilakukan di luar rumah, bersama dengan teman-teman, di tempat yang sama secara bersama-sama. Namun di dalam masyarkat cyber, bermain dapat dilakukan secara soliter di depan komputer, meskipun pada saat yang bersmaan ia tengah berinterkasi dalam sebuah ”permainan” dengan orang lain yang mungkin sedang berada di belahan dunia lain.

Dari sini kita bisa mengira, realitas cyber merupakan bentuk pengingkaran dari dunia ril. Namun demikian, orang tetap merasa betah berada di dunia maya ini. Dunia maya seakan menjadi dunia kedua mereka, yang lebih merdeka, lebih bebas, lebih demokratis, dan lebih fleksibel terhadap segala hal. Fleksibel yang dimaksud adalah, banyak hal-hal yang tidak dapat dilakukan di dunia ril karena batas-batas etika atau ketentuan moral, justru dapat dilakukan di dunia maya (Reza Antonius dalamMenggagas Cyberspace Sebagai Ruang Publik Virtual yang Emansipatif; Cultural Studies, 2007). Menurut Straubhaar dalam Media Now, kenyataan seperti inilah yang disebut masyarakat pada era-postmodern.

Jelaslah, teknologi cyberspace telah menimbukan berbagai perubahan pada aspek kehidupan sosial. Menurut Yasraf Amir Piliang, ada tiga tingkat pengaruh dari cyberspace secara sosial, yaitu di tingkat individu (personal), tingkat antar-individu (interpersonal), dan tingkat masyarakat (social) (Piliang, 2004).

Public sphere
Hal lain yang menarik dari dunia internet adalah terciptanya ruang publik yang yang lebih bebas, dimana pertukaran ide dan gagasan dapat terjadi dengan bebas tanpa batasan, baik antar individu maupaun kelompok. Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang merupakan generasi kedua Mazhab Frankfurt, bahwa konsep ruang publik (public sphere) adalah keterbukaan dalam komunikasi.

Menurut Habermas, masyarakat demokratis harus mengakui akses yang terbuka, sikap voluntir, partisipasi di luar peran kelembagaan, penciptaan opini publik yang melibatkan masyarakat luas di dalam perdebatan rasional, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan mendiskusikan negara, dan mengritik bagaimana kekuasaan negara dijalankan (Piliang, 2004).

Hal lain yang menarik untuk diperbincangkan dalam buku Media Now adalah persoalan digital divide. Artinya, akan terjadi kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses informasi dari media-media digital, dengan orang-orang yang tidak dapat melakukannya. Meski penulis tidak tahu dengan pasti berapa jumlah masyarakat Indonesia yang melek internet, tetapi dengan melihat kondisi ekonomi secara umum pada masyarakat, tampaknya masih lebih sedikit orang yang melek internet ketimbang yang tidak.

Contoh konkeretnya adalah, kini saya lebih banyak menemukan perusahaan yang mensyaratkan informasi lowongan pekerjaan lewat internet, termasuk dalam mekanisme pengiriman dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat lamaran pekerjaan. Ini artinya, hanya mereka yang melek internetlah yang lebih banyak memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan tersebut dari pada yang tidak. Kemudian, hanya orang-orang yang memiliki dana lebih untuk mengakses intrnetlah yang lebih menguasai informasi dan memperoleh banyak pengetahuan.

Jadi untuk kasus Indonesia, digital divide masih menjadi persoalan yang mungkin masih belum menemukan cara penyelesaiannya. Persoalan digital divide ini mungkin hanya akan selesai jika pendapat per kapita masyarakat Indonesia naik secara signifkan.
Di Amerika, persoalan diskriminasi akibat ketidakadilan dalama akses terhadap media cyber ini masih menjadi isu sub-politik hangat untuk terus diwacanakan. Indonesia, yang masih relatif baru alam memasuki era cyberspace, dan tidak memiliki sejarah panjang sains serta teknologi yang memadai, tentu akan menghadapi masalah dan berbagai kontroversi yang jauh lebih besar (Reza Antonius dalam Cultural Studies, 2007).***

Pustaka
1. Anderson, Chris, The Long Tail, Gramedia Pustaka Utama 2007
2. Freidman, Thomas L, The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke 21, Dian Rakyat, 2007
3. Hardiman, F Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmoderinisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, 1993
4. Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital, Grasindo, 2004
5. Sutrisno, Mudji (editor), Cultural Studies, Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan Koekoesan, 2007

Selasa, 29 April 2008

Kisah Para Meno di Timika, Sebuah Paradok Modernitas

Kehadiran sebuah perusahaan multinasional di Papua seyogyanya membawa perubahan yang baik untuk masyarakat Papua. Masyarakat yang sebelumnya terbelakang harus menjadi masyarakat yang lebih beradab, masyarakat yang sebelum tidak mengenal pendidikan menjadi masyarakat yang melek pendidikan, masyarakat yang tingkat ekonominya sangat rendah, harus berubah menjadi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Diharapkan, perubahan-perubahan itu terus merembes ke segi-segi kehidupan lainnya.

Paling tidak itulah yang dicita-citakan Pemerintah Indonesia ketika untuk pertama kalinya menandatangani kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia pada tahun 1967. Bahkan kontrak ke dua ditandatangani pada akhir tahun 1991. Dengan kesepakatan ini, Pemerintah Indonesia memberikan ijin kepada salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia itu untuk beropreasi di Indonesia hingga 30 tahun kemudian.

Mengapa Pemerintah Indonesia begitu bernafsu untuk memperpanjang kontrak dengan PT Freeport Indonesia? Jawabannya sederhana, agar pajak yang sangat besar bisa tetap masuk ke kantong negara. Di sisi lain justifikasi dari kesepakatan di atas adalah, demi memacu pertumbuhan ekonomi dengan membuka penanaman modal asing. Di sini, pembangunan menjadi basis ideologi negara, muaranya pertumbuhan ekonomi mendapat prioritas utama. Sementara itu, ideologi di luar itu dianggap haram.

Kenyataan ini menunjukkan betapa kuatnya ketergantungan Indonesia pada modal asing, dalam hal ini Amerika Serikat. Ketergantungan yang besar ini mengakibatkan dominasi asing tidak dapat ditolak lagi.

Namun di balik itu semua, disadari atau tidak, Pemerintah Indonesia tengah melakukan “persekongkolan” dengan bentuk kolonialisme baru yang sudah lama dilakuakan oleh negara Barat terhadap negara Dunia Ketiga atas nama modernisme. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah eksploitasi transnasional.

Hal inilah yang kemudian dikritk oleh kaum Neo-Marxis yang menyatakan bahwa modernisme tidak lain dari legitimasin intervensi Amerika terhadap kepentingan Negara Dunia ke Tiga. Menurut kaum Neo-Marxis, negara akan terbebas dari kolonialisme jika secara ekonomis, politis dan budaya tidak berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat. Bahkan para pengkritik teori modernisasi menyebutkan bahwa kehadiran perusahaan mulitnasional di negara Dunia Ketiga adalah bentuk kolonialisme.

Ketika PT Freeport Indonesia hadir, sejumlah perubahan kecil memang terjadi. Ini terlihat dari sejumlah karyawan di PT Freeport Indonesia yang berasal dari Papua. Mereka memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan tambang tersebut dengan pendapatan yang memadai. Pada akhir tahun 2005, perusahaan yang mulai beroperasi di Indonesia tahun 1971 memperkerjakan hampir 2.400 karyawan asal Papua. Jumlah ini memang jauh bertambah jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

Kemudian, PT Freeport Indonesia juga tercatat menyediakan sejumlah pelatihan berkisar program dasar baca tulis (melek huruf) dan berhitung sampai program “pramagang” bagi mereka yang belum pernah mengikuti program kerja.

Selain itu, PT Freeport Indonesia juga memiliki sejumlah program beasiswa pendidikan bagi karyawannya. Mereka dikirim ke sejumlah perguruan tinggi, baik di Jawa maupun di luar negeri seperti Australia. Bahkan perusahan ini memberikan sejumlah dana untuk perbaikan pendidikan masyarakat di Timika, mulai dari pemberian beasiswa hingga sumbangan untuk sekolah-sekolah yang ada di sana.

Tercerabut
Namun di balik apa yang disebut sebagai kemajuan itu, kehadiran PT Freeport Indonesia ternyata tidak sepenuhnya memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang terjadi justru terbukti ikut mengguncang sendi-sendi kultural masyarakat Papua. Hal ini terjadi seiring dengan mulai masuknya berbagai bentuk kebudayaan baru dari luar sistem budaya masyarakat Papua, mulai dari nilai, cara bicara, cara bergaul, cara berpakaian hingga gaya hidup.

Secara kompleks, kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua perlahan-lahan telah membuat masyarakat Papua tercerabut dari akar budayanya. Bahkan lebih jauh masyarakat Papua mengalami keterasingan di wilayah geografisnya sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat Papua telah kehilangan keterkaitan yang erat dengan basis-basis kebudayaan mereka sendiri. Nilai-nilai baru segera diadaptasi, dan dianggap memiliki nilai yang lebih baik, lebih maju, dan modern. Di sini sebuah kebudayaan baru akan dianggap sebagai penyempurna kebudayaan lama.

Adaptif
Perubahan ini tentu tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Indoensia yang gencar mensosialisasikan perubahan di Papua. Mengapa begitu? Sebab selama bertahun-tahun, pemerintah menganggap masyarakat Papua sebagai masyarakat terbelakang (uncivilized) sehingga karenanya harus dilakukan perubahan agar mereka mencapai suatu taraf apa yang disebut dengan beradab dan berbudaya (civilized). Hal ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh J Boeke bahwa salah satau kondisi yang sulit mengubah masyarakat ke arah yang lebih maju adalah sifat anti-rasional, yakni ketika penduduk perhatian penduduk kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan dunia nyata dan pandangan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari warisan budaya dan spiritual masyarakat Timur (Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde baru, 1990).

Hal inilah yang membuat pemerintah RI kala itu berusaha keras untuk mengubah keadaan di Papua. Selintas, apa yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Indonesia adalah benar. Apalagi jika kta menilik teori oleh Samuel Huntington yang mengatakan bahwa modernisasi diartikan sebagai proses tranformasi. Untuk mencapai titik modern, nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan struktur dan nilai-nilai moderen. Bahkan untuk itu menyakini bahwa “modern” dan “tradisional” sebagai dua konsep yang sebenarnya saling bertentangan (asimetris) (lihat Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994).

Sejak itu nilai-nilai baru diperkenalkan, dan kebudayaan baru yang dianggap lebih tinggi disosialisasikan. Pemerintah Indonesia melakukan perubahan secara revolutif agar masyarakat Papua menjadi masayarakat yang “lebih maju” dan modern. Pemerintah Indonesia berharap masyarakat Papua dapat bergerak menuju keadaan yang lebih maju.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong perubahan pada masyarakat Papua adalah dengan melakukan gerakan “operasi koteka”. Dalam gerakan ini masyarakat di pegunungan dihimbau untuk melepaskan koteka mereka dan menggantikannya dengan pakaian biasa.
Himbauan ini ternyata dapat diterima oleh sebagian masyarakat, tentu saja tidak sedikit yang habis-habisan menolaknya (Kompas, 3 September 2007).

Menariknya, setelah bertahun-tahun pemerintah Indonesia mensosialisasikan perubahan, masyarakat Papua menjadi adaptif dalam menerima perubahan. Artinya gerakan perubahan yang dilancarkan oleh pemerintah lebih dapat diterima dari pada. Sesekali konflik memang muncul. Namun konflik yang terjadi cenderung horisontal, bukan vertikal, misalnya saja perang antar suku atau kelompok masyarakat.

Mengapa masyarakat Papua dikaytakan adaptif? Untuk menjawab itu, pendapat Michael R Dove dapat menjawabnya. Menurut Michael R Dove, masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis. Masyarakat tradisional tersebut selalu mengalami perubahan sosial yang terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya (lihat Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994 hal 66).

Dengan begitu, jika kemudian masyarakat Timika dengan mudahnya dapat mengadaptasi nilai-nilai atau kebiasaan baru, hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar. Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ignas Kleden bahwa perubahan akan lebih mudah terjadi jika unsur kebudayaan baru tidak ditanggapi sebagai pengaruh baru yang membahayakan kebudayaan lama, tetapi sebagai lanjutan dan penyempurnaan budaya lama. Sebaliknya, jika unsur-unsur kebudayaan baru itu ditanggapi sebagai pengaruh yang membahayakan kebudayaan lama, maka aka timbul resistensi bahkan penolakan dari kebudayaan lama (Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, 1987 hal 186).

Sayangnya, kecenderungan ini tidak dibarengi dengan kuatnya basis-basis nilai tradisional yang tertanam pada masyarakat Timika. Akibatnya budaya baru yang diresepsi tidak lagi mengalami filterisasi. Nilai-nilai itu akhirnya diadopsi tanpa memperoleh sterilisasi melalui kearifan-kearifan lokal yang ada. Muaranya, masyarakat mengalami ketegangan budaya.

Kemampuan masyarakat Papua di pegunungan yang jauh tertinggal dengan para pendatang misalnua, telah memproduksi persoalan tertentu. Dalam hal pertanian contohnya, pendatang dari jawa lebih menguasai teknologi pertanian akan lebih mudah menggarap tanah untuk memperoduksi hasil yang maksimal, sementara pertanian penduduk asli tidak menunjukkan hasil yang lebih. Hal ini dapat menjadi pemicu konflik, ketegangan dan kesenjangan.

Lalu, ketertinggalan dalam pendidikan pun memicu sejumlah masalah. Akibatnya penduduk asli Papua harus berusaha keras bersaing dengan para pendatang untuk memperoleh hak ekonomi. Banyak yang kalah dalam persaiangan ini. Lihat saja ketika penduduk asli Papua “turun gunung” mereka menjadi kaum urban yang terpaksa menjadi tukang becak, tukang ojek, atau buruh kasar.

Pandangan sempit
Lalu bagaimana perspektif modernisasi menatap persoalan ini? Semestinya kehadiran PT Freeport Indonesia membawa dampak yang positif bagi masyarakat Timika, dengan kata lain membawa para pendulang emas itu ke arah yang lebih modern. Namun kenyataannya tidak demikian. Pertanyaan adalah, mengapa hal dapat terjadi. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba melihatnya dengan teropong teori fungsional dari Talcott Parsons.

Bagi Parsons, masyarakat tak ubahnya organ tubuh manusia, dan oleh karena itu masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia. Konsekuensinya, seperti struktur tubuh manusia, kelembagaan dalam masyarakat memiliki ketergantungan satu sama lain. Hal ini melibatkan konsepsi sistem, untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, jika terjadi perubahan dalam salah satu sub sisitem atau kelembagaan masyarakat, maka perubahan juga harus terjadi pada sub sistem lain. Jika tidak, maka terjadilah apa yang disebut dengan ketidakseimbangan.

Berangkat dari teori fungsionalisme ini, yang banyak dijadikan acuan pokok dalam modernisasi, kita bisa melihat bahwa fenomena para pendulang emas di Timika dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar, perubahan tingkat ekonomi para pendulang emas secara drastis, tanpa diikuti perubahan di sisi lain, misalnya saja pemahaman mereka soal membangun masa depan, pentingnya menabung ataupun menginvestasikan uang, justru telah memorakporandakan kehidupan mereka sendiri. Artinya perubahan secara parsial di dalam masyarakat Timika tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Penulis juga ingin melihat fenomena teori motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh David McClelland. Menurut McClelland, motivasi berprestasi atau kebutuhan berprestasi adalah keinginan yangkuat untuk mencapai prestasi yang gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya (Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994) Memang teori tersebut memberikan aksentuasi pada kegiatan para wiraswastawan, namun demikian, di sini penulis mencoba mengimplementasikannya pada mereka yang bukan wiraswastawan.

Dari teori ini, kita dapat menilai bahwa salah satu sebab tidak terjadinya perubahan ekonomi pada para pendulang emas di Timika, Papua, berkait erat dengan motivasi berprestasi. Memang belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa world of view dan kebudayaaan masyarakat Papua tidak memiliki motivasi berprestasi. Tetapi dari fakta yang ditulis di Kompas menunjukkan bahwa para pendulang emas itu tidak memiliki motivasi untuk lebih maju dan berubah ke arah yang lebih baik, seperti dikutip oleh Kompas, …Waker mengisahkan, setelah mendapatkan uang hasil menjual emas, mereka bisasa menyewa mobil. Mengajak teman-teman dan saudara. Minuman keras dibeli banyak-banyak. Bisa beberapa krat, hingga mobiul penuh sesak. Lalu keliling kota sambil minum. Pesta biasa diakhiri di Kilo 10 (lokalisasi di Timika).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pandangan dunia para pendulang emas memang sempit. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan jangka panjang, dihabiskan hanya dalam waktu sesaat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa para pendulang emas tersebut tidak memiliki cara pandangan ke depan. Kenyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi masyarakat modern menurut Alex Inkeles.

Menurut Inkeles, salah satu ciri masyasrakat modern adalah memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan, dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya (Suwarsono dan Alvin Y SO dalam Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994).

Namun ciri ideal Inkeles ini tidak terjadi pada para pendulang emas di Timika. Mereka seakan hidup untuk hari itu saja. Tidak terbukanya pikiran mereka untuk melihat ke depan, akhirnya menjadi pengalang bagi mereka sendiri untuk maju. Kita kira ini adalah sebuah paradok. Ketika PT Freeport Indonsia, sebagai representasi modernitas hadir, para pendulang emas di Timika justru tetap memiliki pola pikir yang lama. Parahnya lagi, kemajuan secara ekonomis tidak juga tercapai. Padahal, berangkat dari teori trickle down effect, seharusnya para pendulang emas dan masyarakat sekitar PT Freeport Indonesia memperoleh kesejahteraan ekonomi. Sayangnya, hal ini tidak menemui kenyataan empiriknya.

Dengan begitu, benar apa yang disebuatkan oleh mantan sekjen pertama Rights and Humanity Julia Hausserman. Right and Humanity adalah sebuah gerakan internasional yang mempromosikan dan merealisasikan hak-hak dan tanggung jawab manusia. Hausermann menyebutkan, di sejumlah negara muncul kecenderungan menggelisahkan ke arah konsentarsi memacu pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan, dan bukan memperkuat basis-basis kesejahteraan rakyat. Argumennya, sebuah pertumbuhan ekonomi yang meledak maju (booming) akan merembes ke bawah, ke sektor-sektor masyarakat miskin dan tidak beruntung, sehingga hak dan kebutuhan mereka dengan sendirinya akan terpenuhi dan terangkat.

Sayangnya, demikian Hausermann, tanpa adanya basis-basis kesejahteraan yang jelas, keadaannya seringkali menjadi sebaliknya, yang miskin semakin miskin, sedangkan keuntungan pertumbuhan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Dengan begitu, “trickle down effect” tidak selalu cocok diterapkan di negera-negara berkembang, dan mungkin hanya cocok diterapkan di beberapa negara industri (lihat Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor 1994 hal. 263).

Tatapan Teori Dependensi
Merayakan Ketergantungan Tanpa Akhir
Juga menarik untuk melihat keberadaan PT Freeport Indonesia dari perspektif teori dependensi dalam pembangunan. Untuk itu, penulis mencoba untuk membuktikan teori ketergantungan yang dikemukakan oleh Dos Santos.

Dos Santos menyebutkan, hubungan antar negara dominan (dominant countries) dan negara tergantung (dependent countries) akan menjadi hubungan yang tidak egaliter. Malah, yang terjadi adalah biaya pembangunan di negara dominan sesungguhnya dibiayai oleh negara tergantung. Selanjutnya surplus ekonomi di negara tergantung akan mengalir dan berpindah ke negara dominan. Bagi negara tergantung, pemindahan ini mengakibatkan tidak dapat berkembangnya pasar dalam negeri, menghambat kemampuan teknik dan memperlemah keadilan budayanya.

Apa yang dikemukakan oleh Dos Santos terjadi juga ketika berbicara mengenai kehadiran PT Freeport Indonesia di Indonesia. PT Freeport Indonesia yang merupakan ekstensi Amerika di Indonesia, juga telag melakukan praktek yang sama. Keberadaannya di Indonesia yang sudah lebih dari 30 tahun, jelas-jelas telah mengeruk kekayaan tambang di Timika, dan mengalirkannya secara deras ke Amerika. Apalagi dalam hal ini PT Freeport Indonesia berhasil memonopoli usaha pertambangan di Timika. Hasilnya, tambang yang idealnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia, justru tidak dapat dinikmati sepenuhnya dengan merata. Bahkan, penduduk lokal yang menurut logika dapat mengecap hasilnya, ternyata tidak pernah mendapatkan apa-apa.

Ketidakmampuan dalam teknologi yang kemudian disebut ketergantungan tekonologi, telah membuat hubungan Indonesia dan Amerika, tidak sejajar. Artinya Indonesia bergantung sepenuhnya pertama-tama pada kecanggihan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi tambang, dan juga ketergantungan pada permodalan. Akibatnya pemerintah Indonesia sangat sulit untuk melepaskan diri dari ikatan ketergantungan dengan PT Freeport Indonesia. Hal ini membuat Indonesia hanya dapat merayakan sebuah ketergantungan tanpa akhir.

Namun menarik untuk mencermati teori dependensi baru yang dikemukakan oleh FH Cardoso. Dalam teori dependensi baru yang digagas oleh Cordoso ketergantungan tidak selalu berarti keterbelakangan, tetapi sebagai suatu metode untuk menganalisa situasi konkret Negara Dunia Ketiga, yaitu mencoba mengetahui asal mula terjadinya ketergantungan tersebut.

Selanjutnya Cordoso juga melihat bahwa situasi ketergantungan justru sebagai proses yang memiliki berbagai kemungkinan akhir yang terbuka. Jika struktur ketergantungan memberikan memberikan batas ruang lingkup kemungkinan perubahan, maka perjuangan kelas dan campur tangan negara dapat melonggarkan batas tersebut, bahkan transformasi struktural, atau malah menggantikannya dengan yang baru yang tidak diprediksi sebelumnya. Di sini Cordoso melihat bahwa Negara Dunia Ketiga masih memiliki peluang untuk mencapai apa yang disebut sebagai pembangunan yang bergantung (associated-dependent develepoment).

Dalam batas-batas tertentu, demikian Cardoso, kepentingan modal asing dapat bersesuaian dengan kemakmuran negara pinggiran. Dengan pengertian ini, perusahaan multinasional akan membantu proses pembangunan negara pinggiran.

Berangkat dari teori ini, seharusnya kehadiran PT Freeport Indonesia dapat melakukan peran yang lebih dari sekarang. Seharusnya ada sebuah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia. Hal ini dapat diukur dengan melihat sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang dicapai pemerintah Indonesia dalam skala makro. Namun sayangnya apa yang diharapkan tidak terwujud . Lalu apa yang salah?

Menurut hemat penulis, tidak adanya kesamaan visi antara PT Freeport Indoenesia denga pemerintah Indonsia merupakan faktor utama. Di sisi pemerintah, ada ketergesaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak-dampak sosial-politik yang akan timbul. Sedangkan di sisi PT Freeport Indonesia, ada semacam nafsu untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada tanpa keinginan untuk memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pembangunan Indonesia. Keuntungan besar menjadi panglima. Hubungan yang dinamis dan koeksistensial tidak terjadi di sini.

Mungkin salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan menyamakan visi. Di sini perlu adanya sebuah gerakan untuk menata perbaikan secara bersamaan (lihat Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Kanisius, 2000 hal. 211). Solidaritas antara negara dominan dan negara bergantung sangat memegang peranan penting. Tentu saja hubungan ini sangat ideal dan normatif dan tidak selalu menjadi cara pandang negara dominan.

Mengapa solidaritas menjadi sangat penting? Penyebabnya adalah, karena di dunia ini telah tercipta sebuah ketergantungan global yang menuntut adanya hubungan ekonomi internasional yang memungkinkan semakin banyak kelompok terlibat dalam kerja sama dan saling pengertian, demikian Sindhunata.

Intevensionis yang Mencengangkan
Di samping itu, menarik juga untuk menelaah fenomena PT Freeport Indonesia dari hasil kajian Mohtar Maso’oed mengenai Negara Birokratik Otoriter. Menurut Mas’oed, dominasi rezim yang represif dan cenderung melakukan depolitisasi maupun demobilisasi massa adalah konsekuensi logis dari “pembangunanisme” yang dianut Indonesia di tahun 1970-an. Dengan kata lain, untuk meredam aksi rakyat dan penentangan kebijakan pembangunan, pemerintah--dibantu militer--harus melakukan tindakan-tidakan otoriter.

Apa yang dikemukakan oleh Mas’oed ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Peter McCawley, bahwa menjelang 1969 terlihat adanya kecenderungan ke arah kebijaksanaan intervensionis (lebih banyak campur tangan pemerintah). Pada tahun 1970-an kecenderungan ini semakin jelas.

Hasil dari kebijakan ini cukup mencengangkan, kemajuan berbagai sektor menunjukan perkembangan yang mencolok. Produksi beras di Jawa misalnya, dari tahun 1968 hingga 1978, naik dari 7,07 juta ton beras menjadi 10,67 juta ton beras (Peter McCawley dalam Ekonomi Orde Baru). Lalu, kemajuan di sejumlah sektor industri pun menunjukkan laju pertumbuhan yang luar biasa. Dari fakta ini dapat ditafsirkan, rezim yang otoriter dan represif justru telah membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Hal yang menjadi pertanyaan, ketika Indonesia memasuki masa reformasi (sejak 1998) keadaan ekonomi Indonesia yang kala itu tengah mengalami kemunduran, hingga kini tidak juga mengalami kemajuan yang berarti. Malah tidak sedikit pihak yang meramalkan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan pernah mengalami kemajuan lagi, alias Indonesia sebagai sebuah negara sudah bangkrut.

Lalu pertanyaannya, apakah Indonsia harus kembali memberlakukan Negara Birokratik Otoriter--meski sistem ini juga memiliki banyak kelemahan--agar percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lagi, termasuk dalam persoalan PT Freeport Indonesia? Konkretnya, apakah pemerintah kembali menekan pihak-pihak yang menentang kehadiran perusahaan tambang tersebut (baik dari parlemen, organisasi kemasyarakatan ataupun pers) agar perusahaan tersebut dapat dengan bebas beroperasi di Indonesia?
Hal ini tentu tidak bisa dijawab sesaat, perlu banyak lagi kajian yang harus dilakukan agar masalah pembangunan di Indonesia dapat diselesaikan secara komprehensif. Masalahnya pun menjadi kompleks.

Kendati demikian, di tengah perubahan-perubahan global, dimana teknologi komunikasi telah membuat jarak geografis hampir menyempit, kita harus belajar dari Thomas L Friedman. Menurutnya di dunia--yang ia sebut semakin datar--Negara Dunia Ketiga mesti mesti melakukan sesuatu yakni reformasi mikro (reform retail). Bagi Friedmanm reformasi mikro lebih dari sekadar membuka diri ke arah perdagangan dan menarik modal asing, tetapi juga melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap infrastruktur pendidikan maupun pemerintahan. Dengan begitu, alam pandangan Friedman, akan semakin banyak orang memiliki bekal yang membuat mereka mampu berinovasi dan bekerja sama pada tingkat tinggi (lihat Thomas L Friedman dalam The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, 2006 hal. 468).***


Sinopsis Berita HU Kompas (13 September 2007)

Tulisan (feature) yang diambil dari harian umum Kompas (Sabtu, 13 September 2007) dengan judul “Meno” Kaya Tidur di Selokan ini, mengisahkan nasib para pendulang emas di Sungai Aghawagon di Mimika, Kabupaten Timika, Provinsi Papua. Sungai Aghawagong sendiri merupakan aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia.

Para pendulang ini biasanya berasal dari suku-suku di dataran tinggi (highland) di Papua dan pendatang dari luar Papua. Dari tahun ke tahun jumlah pendulang ini semakin banyak. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 13.000 orang. Padahal, tiga tahun sebelumnya jumlah keseluruhan pendulang hanya 1.086 orang saja.

Kemungkinan, hal tersebut diakibatkan pendapatan yang cukup menggiurkan dari hasil mendulang ini. Bagaimana tidak, alam feature ini diceritakan bagaimana para pendulang itu bisa meraih uang hingga 2 juta rupiah dalam sehari. Bahkan jika sedang beruntung, seorang pendulang bisa mengantongi uang hingga 10 juta rupiah.

Namun sayangnya hal ini tidak membawa kesejahteraan bagi para pendulang tersebut. Penyebabnya adalah, mereka tidak menggunakan pendapatannya dengan baik. Uang yang mereka peroleh dihabiskan untuk membeli minuman keras untuk mabuk-mabukan, dan pergi ke tempat pelacuran. Semua uang yang mereka miliki habis untuk keperluan ini.
Ironisnya, jika sudah mabuk-mabukan, mereka hanya bisa tergolek di tepi jalan. Tidak jarang mereka kedapatan tidur di selokan. Padahal, jika saja uang yang mereka peroleh digunakan sebaik mungkin, hal seperti itu tidak perlu terjadi.

Keadaan ini seperti sulit diubah. Hal itu seperti sudah menjadi gaya hidup seiring dengan berubahnya orientasi spiritual mereka. Hancurnya tempat sakral mereka karena kehadiran PT Freeport Indonesia semakin membuat para pendulang kehilangan arah dalam menjalankan hidupnya.

***

Daftar Pustaka

Anne Booth dan Peter Mc Cawley, Ekonomi Orde Baru, LP3ES, 1990
Friedman, Thomas L, The World is flat, Sejarah Ringkas Abad ke-21, Dian Rakyar, 2006
Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, 1994
Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Kanisius 2000
Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai,
Yayasan Obor Indonesia 1994
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, 1987

Makalah
Stereotip Etnis Masyarakat Papua Terhadap Transmigran oleh DR LA Pona Msi, Staf pengajar Universitas Cendrawasih.

Internet
http://www.ptfi.co.id/social/pelayanan_kesehatan.asp 17 Sepetember 2007 pukul 08.18
http://www.ptfi.com/about/default.asp%2017%20September%202007%2008.2
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/07/Fokus/547096.htm%2014.23 7 September 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/07/Fokus/545218.htm%2014.41 17 September 2007