Kamis, 01 Mei 2008

Kebebasan Tanpa Ketulusan (Kebebasan Pers Versus Determinisme Ekonomi)

Ketika bicara soal kebebasan pers, memori saya selalu mengeluarkan satu nama yakni Tempo. Mengapa demikian? Sebab Tempo adalah salah media yang terkena pencabutan SIUPP (Surat Ijin Penerbitan Pers) pada 2 Juni 1994. Alasannya, Tempo telah mengganggu stabilitas negara dan telah gagal menjalankan prinsip pers Pancasila (Steele, 2007).

Hal yang menarik bagi saya, belum pernah terjadi gelombang protes yang sangat hebat atas pembreidelan surat kabar seperti yang terjadi setelah Tempo, dan dua media lain (Editor dan Detik) diberangus. Saat itu ribuan massa tumpah ke jalan untuk berdemonstrasi meminta pemerintah mengijinkan ketiga media yang dibreidel terbit kembali. Mulai dari wartawan, mahasiswa, anggota LSM, seniman kala itu gencar melakukan aksi menentang keputusan pemerintah.

Gelombang protes ini mengindikasikan bahwa pada saat itu masyarakat luas telah menyadari arti penting kebebasan pers. Masyarakat telah memahami, pembunuhan terhadap pers adalah penutupan akses informasi yang sesungguhnya menjadi hak masyakarat. Lebih jauh, pembreidelan pers adalah bahaya mati bagi demokratisasi.

Tetapi hal itulah yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu pers benar-benar mengalami ketidakbebasan. Pers selalu berada di bawah ancaman kekuasaan. Berita yang dinilai merugikan atau mencoreng kekuasaan akan selalu dianggap sesuatu yang mengganggu stabilitas dalam negeri. Konsekuensinya berita tersebut harus dihapus dari halaman media. Jika tidak, media bersangkutan harus dihapus dari peredaran.

Bahkan, bukan hanya kepada media cetak, media elektronik pun mengalami perlakuaan yang sama. Salah satu peristiwa yang mengindikasikan hal ini adalah diakhirinya tayangan Perspektif di SCTV pada tanggal 16 September 1996 (Taufik Abdullah dkk, 2003). Seperti diketahui, tayangan ini selalu menghadirkan tokoh-tokoh kritis yang acap kali melakuan kritik terhadap pemerintah.

Masih dengan SCTV, sejumlah pejabat pernah menelepon pengasuh acara Liputan 6 yang pada tanggal 17 Mei 1998 menayangkan wawancara Ira Koesno dengan Sarwono Kusumaatmadja, mantan Meneteri Lingkungan Hidup. Saat itu Sarwono menggunakan istilah ”cabut gigi” yang menunjuk bahwa presiden Soeharto saat itu harus mundur. Tak ayal lagi, sangsi pun dikenai pada mereka yang terlibat dalam peristiwa ini (Tim Redaksi LP3ES, 2006)

Hal inilah yang selama lebih dari tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa telah membuat kehidupan pers Indonesia hidup antara ada dan tiada. Pers Indonesia dikatakan ”ada” karena pada kenyataannya media-media umum terbit secara teratur dan beredar luas di pasaran. Dikatakan ”tiada” karena pers tidak dapat dengan bebas melakukan fungsi kontrol dengan baik, terutama kontrol terhadap pemerintah. Kondisi ini saja tidak jauh dari negara-negara yang menganut sistem pers otoritarian. Artinya, kontrol terhadap pers dilakukan oleh pemerintah secara otoriter oleh pemegang kekuasaan. Pemaknaan dan interpretasi ketegori suatu berita pun ada pada pemegang kekuasaan.

Padahal untuk Indonesia, secara formal legalistis, pers nasional memiliki kebebasan untuk melakukan pengumpulan dan pengolahan bahan berita untuk kemudian menyiarkanya sebagai berita. Namun hal tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Penerangan No: 01 Tahun1984.

Namun sayangnya tidak ada batas yang jelas dan tegas berkaitan dengan konsepsi ”bebas dan bertanggung jawab” ini. Akibatnya banyak pers yang ”tersandung” dalam melakukan tugas profesinya. Sanksi yang paling akhir dari ”ketersandungan” ini adalah pencabutan SIUPP. Keadaan ini tentu saja sangat merugikan kehidupan pers nasional.

Untung saja hal tersebut kini telah berakhir. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah memungkinkan pers nasional dapat kembali bernapas lega. Presiden Prof. Dr. BJ Habibie yang hadir menggantikan Soeharto, kemudian mencabut Peraturan Menteri Penerangan No: 01 Tahun 1984 dan menggantikannya menjadi Peraturan Menteri No: 01 tahun 1998. Kondisi ini mempermulus gerak pers nasional menuju pers yang bebas dan merdeka (free and liberated press).

Sejak pencabutan peraturan menteri tersebut, pers memang mengalami masa kebebasan yang hebat. Pers kembali dapat menjalankan fungsi sosial dan kontrol dengan lebih baik. Bahkan ketika Presiden Abdurahman Wahid mencabut undang-undang no: 21 tahun 1982 yang tidak lagi mensyaratkan SIUPP untuk menerbitkan surat kabar, jumlah media cetak yang terbit kian bertambah. Hal ini menandakan bahwa masyarakat akan semakin mudah memperoleh informasi yang obyektif dan akurat, dengan pilihan media yang variatif.

Akan tetapi, pertanyaan yang patut digulirkan adalah, sejauh mana pers menjalankan kebebasannya. Apakah kebebasan yang dialami pers nasional saat ini benar-benar telah membuatnya menyajikan berita-berita yang yang objektif dan bebas dari tarikan-tarikan kepentingan lain. Apakah ada pers yang benar-benar bebas dan obyektif?

Logika ekonomi
Apabila kita melihat lebih jauh kondisi pers di Indonesia dewasa ini, sangat jelas bahwa logika-logika ekonomi kian mendapat tempat. Romatisme pers perjuangan seakan-akan telah dilupakan. Kisah-kisah seperti Marco Kartodikromo ketika menerbitkan Doenia Bergerak di tahun 1915, Imam Soepardi ketika mulai menerbitkan Panjebar Semangat, ataupun Mochtar Lubis yang konsisten dengan muckraking medianya bersama Indonesia Raya, sudah lama tidak terdengar lagi gaungnya. Hal yang kini terjadi karena media yang terbit saat ini tidak hanya berbicara soal idalisme dan perlawanan terhadap penindasan penjajah, tetapi juga bicara soal bisnis.

Pekawinan antara bisnis dan idalisme ini tentu saja akan membuat corak tersendiri dalam kehidupan pers nasional. Berita bukan lagi semata-mata produk jurnalistik, tetapi menjadi komoditi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi pers. Tentu saja bukan hanya produk jurnalistik yang mulai berorientasi pasar, tetapi juga struktur organisasi, editorial, keuangan, percetakan hingga ”alam pikir” para jurnalis yang bekerja di dalamnya. Jakob Oetama, salah satu tokoh pers nasional, mengistilahkan hal ini dengan one line of command (Oetama, 2001). Tentu saja di dalamnya koordinasi, sinergi dan forum-forum bersama menjadi sangat penting dalam sebuah perusahaan media.

Sajian-sajian media kini tidak melulu mencoba memenuhi kebutuhan pembacanya, tetapi juga menciptakan kebutuhan bagi masyarakat luas. Kolaborasi antara media dan pengiklan menjadi sangat penting. Dengan memanfaatkan kekuatan media, pengiklan dan media menciptakan berbagai program ataupun rubrikasi bagi pembaca dengan harapan pesan yang ingin disampaikan dapat menghasilkan efek yang maksimal. Bahkan program-program off air juga gencar dilakukan untuk memberikan efek lebih kuat dari pesan-pesan tersebut. Apabila dua kepentingan ini tidak dapat dipertemukan, maka media akan segera ditinggalkan oleh pengiklan.

Di sini lain pengiklan juga menuntut media memliki audienece yang terus bertambah. Semakin banyak audience yang dimiliki media (misalnya saja readeship) semakin besar kemungkinan pengiklan memilih media tersebut sebagai partner. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan media tersebut memperoleh bagian ”kue iklan”. Kenyataan inilah yang membuat media harus bersaing dan berusaha keras untuk menarik perhatian audiens. Di antara banyak media--cetak maupun elektronik--persaingan menjadi sangat ketat. Semua berusaha untuk mengambil alih perhatian audience.

Banyak hal yang dilakukan oleh media untuk mengambil alih perhatian audience, misalnya saja kecepatan dalam menyajikan berita. Ini didasari suatu asumsi bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan akurat tentang berbagai hal. Namun belakangan kecepatan bukanlah satu-satunya cara untuk merebut perhatian audience. Agar tidak ditinggalakan audience, media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk ke kecenderungan menampilkan hal yang spektakuler dan sensasional. Karena ingin menyentuh banyak audience dan tidak merugikan, maka dicari suaru program dengan format yang dapat menyenangkan semua orang (Haryatmoko, 2007).

Hal yang sama terjadi juga dengan produk-produk jurnalistik yang disajikan. Berita-berita yang disajikan tidak hanya skadar menyajikan informasi yang dianggap penting bagi audience, tetapi juga harus dapat disesuaikan dengan isu-isu terbaru. Semakin sering sesuatu hal dibicarakan oleh masyarakat, semakin sering hal tersebut dimunculkan di media massa. Kasus percerian sepasang seleberitis misalnya, akan selalu muncul di media massa sepanjang hal tersebut dibicarakan di masyarakat luas. Sebaliknya, semakin gencar media massa menyebarkan berita soal pasangan selebritis tersebut, semakin hebat pula masyarakat menganggap hal tersebut penting diketahui.

Di sini, hal yang paling penting adalah upaya agar audience dapat menyaksikan sajian yang disodorkan oleh media. Semakin banyak audience yang menyaksikan berita atau program yang ditayangkan, akan semakin mudah media memporleh iklan. Di dunia televisi hal ini diukur dari rating, sedangkan untuk media cetak diukur dengan jumlah pelanggan atau pembaca.
Tentu saja hal ini membuat siapa pun menjadi curiga bahwa media yang ada di sekitar kita telah berevolusi menjadi media komersial dan beroperasi dalam sistem kapitalistik, yang karenanya informasi harus dikemas, didistribusikan dan dijual dengan berbagai cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media, yang juga menjamin kelangsungan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan (Armando dalam Schechter, 2007).

Dedy N Hidayat (Tim LP3ES, 2006), menyikapi hal ini menegaskan bahwa kondisi di atas menjadikan masyarakat atau publik sebagai komoditi sekaligus buruh. Publik ”dijual” kepada pengiklan, sehingga publik memberikan nilai tambah kepada program-program tayangan televisi. Publik tidak pernah menjadi konsumen yang sesungguhnya.

Berangkat dari hal di atas, kiranya dapat dipertanyakan, apakah masih ada lagi kebebasan pers apabila masih sangat banyak tarikan kepentingan di sekitar pers? Kebebasan pers seperti apakah yang tengah kita hadi ketika pers di satu sisi harus berada di dalam determinisme ekonomi seperti itu? Realitas seperti apakah yang disajikan dalam pers nasional kita apabila sajian pers yang ditayangkan selalu merujuk kepada kepentingan kapital dalam sebuah industri media? Apa pula yang akan terjadi apabila terjadi benturan kepentingan antara pemilik modal sebuah media dengan kerja jurnalistik sebuah media? Mungkinkah ada pers yang independen?
Untuk menjawab hal ini tampaknya harus dipetakan dimensi komunikasi yang berkait dengan dunia jurnalisme. Hal ini, meminjam istilah Boris Libois (Haryatmoko, 2007), disebut dengan deontologi jurnalisme. Tiga dimensi yang dimaksud adalah, pertama, hormat dan perlindungan hak warga negara akan informasi dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mendapatkannya.
Kedua, hormat dan perlindungan dan hak individual lain dari warga negara, termasuk di dalamnya hak konsumen, hak berekspresi lewat media, hak citra yang baik, dan hak akan rahasia komunikasi. Ketiga, ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat.

Dari ketiga dimensi yang dikemukakan di atas jelas bahwa pada dasarnya mayarakat luas memiliki hak untuk bebas mengakses dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini negara sangat bertanggung jawab untuk memenuhinya. Namun dalam kondisi determinisme ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, masyarakat terancam tidak akan mendapatkan informasi atau sajian yang semestinya. Sebaliknya, masyarakat hanya akan menjadi objek, tidak ada partisipasi sama sekali di dalamnya. Media menjadi jauh dari kepentingan masyarakat. Media massa tidak lagi menjadi ruang publik seperti yang dicita-citakan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf teori kritis dari Jerman. Menurut Habermas, media seharusnya menjadi the market places of ideas, dimana gagasan terbaiklah yang dapat ditawarkan atau dijual.

Media Publik
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat menghadapi hal ini? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kepentingan publik tidak diabaikan. Pertama-tama adalah ”migrasi” besar-besaran kepada media-media alternatif yang independen yang terlepas dari kepentingan atau determinisme ekonomi. Hal ini dimungkinkan apabila memang terjadi kesadaran kolektif yang sangat besar. Media-media publik mungkin bisa menjadi pilihan.

Menarik sebenarnya untuk melihat bagaimana media publik, yang hakikatnya juga diawasi dan didedikasika kepada publik (Ishadi dalam P Swantoro dkk, 2003), dikembangkan dan dijadikan alternatif. Sejauh ini sejumlah negara telah mengembangkan hal ini seperti Skandinavia, Jerman, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Media-media seperti biasanya independen dan jauh dari kepentingan politik, ekonomi, maupun kelompok sosial tertentu. Di luar Indonesia konsep media publik ini dianut oleh Inggris dengan BBC (British Broadcasting Commision) dan Jepang dengan NHK-nya. Untuk kasus Indonesia, menurut Ishadi SK, TVRI dan RRI sangat potensial untuk dijadikan media publik. Hal ini mengingat lembaga ini Hanya saja yang dibutuhkan untuk menuju ke arah sana adalah political will dari eksekutif, legislatif dan masyarakat.

Danny Schechter (2003) mengutarakan bahwa sesungguhnya media publik dapat memberikan sumbangan besar dalam proses demokratisasi suatu masyarakat. Namun sayangnya, demikian Schechter, kepercayaan publik Amerika terhadap media publik cenderung menurun. Hal ini disebabkan media publik di negara itu PBS (Public Broadcasting Service) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan publik. Hal ini menunjukkan bahwa media publik
Radio-radio komunitas yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia sebenarnya merupakan medium publik yang potensial untuk dikembangkan. Sayangnya pengelolaan yang masih sangat sederhana tidak dapat sepenuhnya memenuhi kebutuhan publik. Kendala dana pun menjadi persoalan tersendiri.

Namun demikian, untuk mengurangi independensi media, sulit kiranya jika kita serta merta menghilangkan nilai bisnis dalam hal ini iklan. Iklan bagaikan darah dalam indutri media. Bahkan tidak berlebihan apabila media kini dalam kondisi ”digerakkan” oleh iklan, (advertising driven). Oleh sebab itu, agar publik masih dapat memperoleh apa yang mereka butuhkan dari media, sebuah lembaga media harus menjalankan keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah, media harus tetap melayani kebutuhan publik, dengan tetap memperhatikan aspek bisnis. Artinya, sebuah lembaga media harus selalu dapat menyediakan ruang-ruang bagi idealisme. Hal ini dapat dimanifestasikan dalam produk-produk media dengan lebih baik. Dalam hal produk jurnalistik misalnya, media harus mengembangkan jurnalistik yang ideal dan kredibel sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari publik. Hal ini tentunya akan menaikkan rating dengan sendirinya.

Tentu saja hal ini sangat ditentukan oleh will dari pemilik atau pemegang modal dari sebuah media. Landasang filosofisnya jelas, untuk media elektronik misalnya, frekuensi yang digunakan hakikatnya dalah aset dari masyarakat luas, bukan milik perorangan. Adalah jika penggunaan milik publik ini juga dikembalikan untuk kepentingan publik sendiri. Lalu, untuk media cetak, dapat dibayangkan berapa banyak pohon (sebagai bahan baku kertas) harus ditebang. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada ekosistem dan lingkungan tempat publik berada. Secara moral-etis, adalah wajar jika media cetak pun memikirkan kebutuhan publik.

Sepertinya, kita masih bisa berharap pers memiliki kebebasan. Dengan begitu, masyarakat akan memperoleh sesuatu yang lebih berharga dari media, termasuk produk-produk jurnalistiknya. Inilah ketulusan dari media yangh diharapkan oleh publik. Tentu saja dengan catatan, idealisme dari pengelola dan pemilik modal harus tetap ada. Jika tidak, pers kita lagi-lagi akan kompromis. Hal ini akan merugikan masyarakat secara luas.***



Daftar Pustaka
1. Abdullah, Taufik dkk, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Yayasan Obor Indonesia 2003
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, 2007
2. IN, Soebagijo, Jagat Wartwan Indonesia, Gunung Agung 1990
3. Oetama, Jakob, Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penerbit Buku Kompas 2001
4. Swantoro dkk, Humanisme dan Kebebasan Pers, Penerbit Buku Kompas 2001
5. Schechter, Danny, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Yayasan
Obor Indonesia 2007-12-28
6. Steele, Janet, Wars Within, Perjalanan Tempo dan Orde Baru, Graffiti Pers, 2007
7. Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6 SCTV, Antara Peristiwa dan Ruang Publik,
LP3ES 2006

Televisi, dari Kekerasan hingga TV Publik

Pada bab 8 buku Media Now, dibahas berbagai hal seputar pertelevisian, mulai dari sejarah, perkembangan-perkembangan dari sisi teknologi, industri, hingga kemungkinan-kemungkinan perubahan televisi di masa datang.

Salah satu bagian yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana televisi telah mengambil sebagian besar kue iklan media massa. Bagi para pengiklan, televisi telah menjadi pilihan pertama untuk pemasangan iklan-iklan dari produk yang diharapkan dapat laku di pasaran. Mereka menganggap beriklan di televisi adalah cara paling efisien dan efektif untuk mencapai konsumen potensial dalam waktu seketika.

Sekadar melongok sejarah, di Amerika televisi telah dilirik oleh para pengiklan sejak tahun 1950 untuk membujuk penonton membeli produk yang ditawarkan. Kala itu Amerika telah memilliki 98 stasiun televisi dengan sekitar 4 juta pesawat televisiyang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saat itu jumakah iklannya telah mencapai $ 170 juta. Bahkan di tahun 1954 jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipatnya, yaitu $ 800 juta, atau sepuluH poersen dari total belanja iklan. Hanya satu tahun kmeudian nilai iklan yang dipasang di televisi mencapai lebih dari $ 1 miliar, dan di tahun 1969 sudah mencapai $ 3,6 juta miliar (Rivers dan Peterson, 2003). Kini rata-rata belanja iklan di negeri itu sekitar $ 5,4 miliar (Straubhaar, 2006).

Di Indoensia sendiri televisi telah menjadi industri dengan investasi, overhead dan turn over yang sangat tinggi. Semyanya didukung oleh iklan yang dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, sekitar 20%-30% dalam setahun (Ishadi, 2001).

Hal ini memperlihatkan bagaimana para pengiklan berani memberi iklan dengan harga yang sangat mahal. Hal ini tentu saja bukan semata-mata biaya produksi televisi yang mahal, tetapi juga karena efek televisi yang sangat hebat untuk memengaruhi dan menanamkan pesan lewat media ini.

Logika ekonomi
Konsekuensi dari kehadiran iklan ini adalah, televisi menganut logika-logika ekonomi. Semua yang disajikan telEvisi harus berorientasi pasar. Artinya, dalam perkembangannya, sajian telvisi menjadi komoditi. Di sini lain pengiklan juga menuntut media memliki audienece yang terus bertambah. Semakin banyak audience yang dimiliki media (misalnya saja readeship) semakin besar kemungkinan pengiklan memilih media tersebut sebagai partner. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan media tersebut memperoleh bagian ”kue iklan”. Kenyataan inilah yang membuat media harus bersaing dan berusaha keras untuk menarik perhatian audiens. Di antara banyak media--cetak maupun elektronik--persaingan menjadi sangat ketat. Semua berusaha untuk mengambil alih perhatian audience.

Banyak hal yang dilakukan oleh media untuk mengambil alih perhatian audience, misalnya saja kecepatan dalam menyajikan berita. Ini didasari suatu asumsi bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan akurat tentang berbagai hal. Namun belakangan kecepatan bukanlah satu-satunya cara untuk merebut perhatian audience. Agar tidak ditinggalakan audience, media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk ke kecenderungan menampilkan hal yang spektakuler dan sensasional. Karena ingin menyentuh banyak audience dan tidak merugikan, maka dicari suatu program dengan format yang dapat menyenangkan semua orang (Haryatmoko, 2007).

Tidak mengherankan jika televisi dianggap sebagai ”obat bius siap pakai” (plug in drug). Bahkan disebut-sebut kecanduan televisi telah menjangikiti orang lebih luas ketimbang kecanduan lain, bahkan lebih menakutkan karena program yang dilihat di tekevisi telah memrogram diri penontonitu sendiri, memengaruhi pandangan mereka terhadap dunia, dam apa yang harus mereka kagumi (Schetner, 2007)

Di sini, hal yang paling penting adalah upaya agar audience dapat menyaksikan sajian yang disodorkan oleh media. Semakin banyak audience yang menyaksikan berita atau program yang ditayangkan, akan semakin mudah media memporleh iklan. Di dunia televisi hal ini diukur dari rating, sedangkan untuk media cetak diukur dengan jumlah pelanggan atau pembaca.
Tentu saja hal ini membuat siapa pun menjadi curiga bahwa media yang ada di sekitar kita telah berevolusi menjadi media komersial dan beroperasi dalam sistem kapitalistik, yang karenanya informasi harus dikemas, didistribusikan dan dijual dengan berbagai cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media, yang juga menjamin kelangsungan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan (Armando dalam Schechter, 2007).

Dedy N Hidayat (Tim LP3ES, 2006), menyikapi hal ini menegaskan bahwa kondisi di atas menjadikan masyarakat atau publik sebagai komoditi sekaligus buruh. Publik ”dijual” kepada pengiklan, sehingga publik memberikan nilai tambah kepada program-program tayangan televisi. Publik tidak pernah menjadi konsumen yang sesungguhnya.

Kekerasan
Hal lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas dari bab 8 buku Media Now adalah isi dari tayangan televisi, terutama ketrkaitannya dengan anak-anak. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam televisi, berkecenderiungan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Hal inilah yang membuat banyak pihak prihatin. Apalagi, menurut Straubhaar, kekerasan dalam televisi kini semakin mendapat perhatian ketimbang seks.

Wajar saja penulis buku Media Now menyatakan demikian, sebab hasil studi kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat memperlihatkan kekerasan dalam televisi sangat memberikan pengaruh buruk pada anak-anak (Haryatmoko, 2007). Pengaruh buruk tersebut adalah meningkatakan perilaku agresif pada anak-anak, menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan, dan meningkatkan rasa takut.

Untuk merespon ini, pihak yang berwenang mengontrol hal ini sudah sepantasnya melakukan tindakan.Tentu saja dengan mengurangi tayangan berbau kekerasan, apalagi pada jam-jam dimana anak-anak masih memuiliku peluang untuk menyaksikan televisi.

Namun persoalannya kemudian adalah bagaimana mendfinisikan kekerasan itu sendiri.Apakah kekerasan selalu berkaitan dengan bentrokan fisik, ekspose terhadap darah dan luka, maupun kematian saja? Lalau bagaimana dengan acara sport yang mengajarkan sportivitas, namun memperlihatkan kekerasan seperti bentrokan fisik dalam pertandiangan sepak bola? Apakah ini dapat dikategorikan tayangan yang dilarang?

Saya kira, pemerintah atau pihak berwenang akan melakukan pembatasan tindakan kekerasan, seyogyanya temukan dulu batasan-batasan kekerasan yang dimaksud agar tidak memicu rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang akan dikenai tindakan.

Hal yang tidak kalah menarik adalah masalah keberadaan media publik. Dalam buku dismpaikan bahwa media publik terancam keberadaannya. Padahal media publik PBS (Public Broadcasting Service) punya kesempatan untuk berkembang. Danny Schechter (2003) mengutarakan bahwa sesungguhnya media publik dapat memberikan sumbangan besar dalam proses demokratisasi suatu masyarakat.

Namun sayangnya, demikian Schechter, kepercayaan publik Amerika terhadap media publik cenderung menurun. Hal ini disebabkan media publik di negara itu PBS (Public Broadcasting Service) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan publik. Media publik, yang hakikatnya juga diawasi dan didedikasikan kepada publik (Ishadi dalam P Swantoro dkk, 2003), dapat dikembangkan dan dijadikan alternatif. Sejauh ini sejumlah negara telah mengembangkan hal ini seperti Skandinavia, Jerman, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Media-media seperti biasanya independen dan jauh dari kepentingan politik, ekonomi, maupun kelompok sosial tertentu.

Di luar Indonesia konsep media publik ini dianut oleh Inggris dengan BBC (British Broadcasting Commision) dan Jepang dengan NHK-nya. Untuk kasus Indonesia, menurut Ishadi SK, TVRI dan RRI sangat potensial untuk dijadikan media publik. Hal ini mengingat lembaga ini Hanya saja yang dibutuhkan untuk menuju ke arah sana adalah political will dari eksekutif, legislatif dan masyarakat.****

Daftar Pustaka
1. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, 2007
2. Rivers, William, Jay W Jensesn dan T Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media, 2003
3. Schechter, Danny, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia 2007-12-28
4. Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6 SCTV, Antara Peristiwa dan Ruang Publik,
5. LP3ES 2006Swantoro, Humanisme dan Kebebasan Pers, Kompas 2003

Cyberspace dan Matinya Realitas

Sejak internet dikenal dengan begitu populer, saya melihat ada sebuah revolusi baru dalam dunia komunikasi. Dengan hadirnya internet, waktu dan jarak dipersingkat. Untuk berkomunikasi misalnya, dengam biaya sangat murah, seseorang dapat bertukar informasi dengan sangat cepat, misalnya dengan chatting. Bahkan sejumlah perangkat komunikasi messengger semacam ini, seseorang dapat melakukan komunikasi secara audio. Wajar jika perkembangan internet tersebut dunia sekan telah dilipat. Jarak dan waktu telah dipangkas habis.

Bahkan Thomas L Friedman mengatakan bahwa internet adalah salah satu pendatar dalam era globalisasi. Hal inilah yang membuat investor melihat hal ini sebuah peluang bisnis, sebuah gelembung (bubble) yang sepertinya tidak terbatas. Mengapa demikian? Mereka melihat adanya sebuah kecenderungan orang untuk mendigitalkan segalah hal, mengubahnya menjadi byte dan ditransmisikan melelaui internet. Dengan begitu, permintaan akan layanan web serta serat optik akan terus meningkat tanpa henti (Friedman, 2006).

Melihat hal ini Bill Gates sendiri menganggap internet tidak ada bedanya dengan demam emas di Amerika di masa lampau. Ia menggambarkan bahwa ketika demam emas terjadi, yang justru menghasilkan uang adalah industri pendukung demam emas seperti perusahaan pembuat sekop, Levi’s, dan kamar-kamar hotel. Investasi di bidang-bidang ini justru lebih besar dari industri emas itu sendiri (Friedman, 2006).

Hal di atas menggambarkan betapa menggiurkannya investasi di dunia pendukung internet ini, misalnya saja di bidang industi serat kabel optik yang ditanam di laut yang secara dramatis telah memangkas biaya pengirman data ke seluruh dunia.

Kenyataan ini bergerak pada penggunaan intenet itu sendiri. Orang mulai memikirkan bagaimana memberdayakan internet dan menghasilkan keuntungan yang besar. Dari sinilah kemudian muncul Teori Long Tail yang dikemukakan oleh Chris Anderson, bahwa dengan internetlah pasar-pasar khusus, niche, dapat diraih.

Teori Long Tail sendiri oleh Chris Anderson didefinisikan sebagai berikut: bergesernya kultur dan ekonomi kita yang terus menjauh dari fokus terhadap sejumlah hit yang relatif sedikit (produk-produk dan pasar-pasar utama) di bagian Head pada kurva permintaan, dan beralih ke pasar-pasar khusus (niche) yang banyak sekali di bagian Tail (Anderson, 2007).

Tidak hanya di bidang eskonomi, dengan internet, akses informasi pun terbuka semakin lebar. Sejumlah mesin pencari (search engine), seperti Google ataupun Yahoo!, telah memudahkan seseorang untuk menemukan informasi yang nyaris tidak terbatas di dunia maya. Begitu pula dengan Wikipedia (Wiki diambil dari istilah Hawaii yang berarti ”cepat”) yang menyediakan berbagai pengetahuan layaknya ensiklopedia.

Pengingakaran dunia ril
Di sini kita bisa melihat bahwa gelombang internet telah mengubah wajah dunia. Ada peluang-peluang baru, ada kecenderungan-kecenderungan baru, dan ada harapan-harapan baru di sana--bahkan kontroversi-kontroversi baru, dimana terjadi akumulasi hitungan-hitungan kapital yang sangat besar. Perlahan-lahan sebuah pasar besar sedang terbentuk.

Di samping itu, internet yang menciptakan dunia cyber, telah membangun sebuah realitas cyber yang berbeda dengan realitas sosiologis sehari-hari. Dalam dunia cyber telah terbangun suatu masyarakat cyber dengan ideologi, nilai-nilai, etika dan bahkan filosofi yang berbeda dengan yang dianut oleh masyarakat.

Contoh sederhananya saja, dunia bermain. Dalam realitas sosiologis, bermain biasanya dilakukan di luar rumah, bersama dengan teman-teman, di tempat yang sama secara bersama-sama. Namun di dalam masyarkat cyber, bermain dapat dilakukan secara soliter di depan komputer, meskipun pada saat yang bersmaan ia tengah berinterkasi dalam sebuah ”permainan” dengan orang lain yang mungkin sedang berada di belahan dunia lain.

Dari sini kita bisa mengira, realitas cyber merupakan bentuk pengingkaran dari dunia ril. Namun demikian, orang tetap merasa betah berada di dunia maya ini. Dunia maya seakan menjadi dunia kedua mereka, yang lebih merdeka, lebih bebas, lebih demokratis, dan lebih fleksibel terhadap segala hal. Fleksibel yang dimaksud adalah, banyak hal-hal yang tidak dapat dilakukan di dunia ril karena batas-batas etika atau ketentuan moral, justru dapat dilakukan di dunia maya (Reza Antonius dalamMenggagas Cyberspace Sebagai Ruang Publik Virtual yang Emansipatif; Cultural Studies, 2007). Menurut Straubhaar dalam Media Now, kenyataan seperti inilah yang disebut masyarakat pada era-postmodern.

Jelaslah, teknologi cyberspace telah menimbukan berbagai perubahan pada aspek kehidupan sosial. Menurut Yasraf Amir Piliang, ada tiga tingkat pengaruh dari cyberspace secara sosial, yaitu di tingkat individu (personal), tingkat antar-individu (interpersonal), dan tingkat masyarakat (social) (Piliang, 2004).

Public sphere
Hal lain yang menarik dari dunia internet adalah terciptanya ruang publik yang yang lebih bebas, dimana pertukaran ide dan gagasan dapat terjadi dengan bebas tanpa batasan, baik antar individu maupaun kelompok. Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang merupakan generasi kedua Mazhab Frankfurt, bahwa konsep ruang publik (public sphere) adalah keterbukaan dalam komunikasi.

Menurut Habermas, masyarakat demokratis harus mengakui akses yang terbuka, sikap voluntir, partisipasi di luar peran kelembagaan, penciptaan opini publik yang melibatkan masyarakat luas di dalam perdebatan rasional, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan mendiskusikan negara, dan mengritik bagaimana kekuasaan negara dijalankan (Piliang, 2004).

Hal lain yang menarik untuk diperbincangkan dalam buku Media Now adalah persoalan digital divide. Artinya, akan terjadi kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses informasi dari media-media digital, dengan orang-orang yang tidak dapat melakukannya. Meski penulis tidak tahu dengan pasti berapa jumlah masyarakat Indonesia yang melek internet, tetapi dengan melihat kondisi ekonomi secara umum pada masyarakat, tampaknya masih lebih sedikit orang yang melek internet ketimbang yang tidak.

Contoh konkeretnya adalah, kini saya lebih banyak menemukan perusahaan yang mensyaratkan informasi lowongan pekerjaan lewat internet, termasuk dalam mekanisme pengiriman dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat lamaran pekerjaan. Ini artinya, hanya mereka yang melek internetlah yang lebih banyak memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan tersebut dari pada yang tidak. Kemudian, hanya orang-orang yang memiliki dana lebih untuk mengakses intrnetlah yang lebih menguasai informasi dan memperoleh banyak pengetahuan.

Jadi untuk kasus Indonesia, digital divide masih menjadi persoalan yang mungkin masih belum menemukan cara penyelesaiannya. Persoalan digital divide ini mungkin hanya akan selesai jika pendapat per kapita masyarakat Indonesia naik secara signifkan.
Di Amerika, persoalan diskriminasi akibat ketidakadilan dalama akses terhadap media cyber ini masih menjadi isu sub-politik hangat untuk terus diwacanakan. Indonesia, yang masih relatif baru alam memasuki era cyberspace, dan tidak memiliki sejarah panjang sains serta teknologi yang memadai, tentu akan menghadapi masalah dan berbagai kontroversi yang jauh lebih besar (Reza Antonius dalam Cultural Studies, 2007).***

Pustaka
1. Anderson, Chris, The Long Tail, Gramedia Pustaka Utama 2007
2. Freidman, Thomas L, The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke 21, Dian Rakyat, 2007
3. Hardiman, F Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmoderinisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, 1993
4. Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital, Grasindo, 2004
5. Sutrisno, Mudji (editor), Cultural Studies, Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan Koekoesan, 2007