Rabu, 21 Juli 2010

Menanti Sikap Tegas KPI




WAcana untuk mengategorikan tayangan infotainment menjadi program non-faktual dan memberlakukan sensor atasnya, oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) patut disambut baik.
Pasalnya, tayangan-tayangan tersebut acap kali mengabaikan etika maupun cara kerja jurnalistik yang benar. Buntutnya, tayangan seperti ini hanya akan memunculkan fakta yang mistifikatif dan realitas psikologis yang keliru.

Persoalannya kemudian, bagaimana lembaga-lembaga yang berwenang melakukan sensor tersebut. Pertanyaan ini diajukan karena sangat tidak mungkin KPI maupun lembaga sensor melakukan pemantauan secara seksama atas semua tayangan non-faktual tersebut.
Bayangkan saja, berapa banyak program non-faktual di televisi yang harus dipantau setiap harinya di televisi untuk memastikan apakah tayangan-tayangan tersebut masih berada dalam jalur Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) atau tidak. Cara ini tampaknya tidak akan efesien.

Oleh sebab itu, selain melakukan pemantauan, KPI pun harus menunggu laporan, keluhan ataupun pengaduan dari masyarakat. Di sini peran masyarakat sangat besar. Masyarakat harus aktif dan responsif terhadap tayangan-tayangan yang mereka saksikan di televisi.
Namun, masalahnya adalah independensi KPI itu sendiri. Seperti diketahui, KPI adalah lembaga yang independen. Namun dalam praktiknya bukan tidak mungkin muncul tekanan-tekanan ataupun intervensi dari pihak-pihak luar yang membuat KPI setengah ahti dalam menangani kasus yang ditemukan.

Ada dua jenis intervensi yang mungkin akan dialami oleh KPI. Pertama adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan, baik lembaga keagamaan maupun lembaga non-keagamaan.
Seperti diketahui bersama, pressure group seperti ini memiliki daya tekan yang amat kuat. Jika ada tayangan televisi yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan ataupun norma yang mereka miliki, mereka tidak segan untuk melakukan tekanan terhadap pihak-pihat yang terkait, termasuk KPI.

Padahal, tayangan tersebut belum tentu dikategorikan telah melanggar norma atau merusak moral dalam pandangan umum. Adegan bergandengan tangan antara sepasang kekasih dalam sebuah tayangan sinetron misalnya, dapat saja dianggap tidak sesuai dengan norma agama, dan karenanya tayangan tersebut layak untuk disensor. Namun, dalam pandangan umum, adegan tersebut dapat saja tidak berarti apa-apa.

Jika demikian kondisinya, apakah KPI akan tetap melakukan sensor, atau bahkan menghentikan tayangan? Apakah tekanan dari kelompok-kelompok seperti akan "dilayani"? Seberapa jauh KPI dapat bertahan jika tekanan dari kelompok-kelompok tersebut kian menguat.
Dalam P3SPS dikatakan bahwa pedoman perilaku penyiaran ditetapkan berdasarkan pada nilai-nilai agama, moral, norma yang berlaku dan diterima secara umum di masyarakat, kode etik dan standar profesional dan pedoman perilaku yang dikembangkan oleh masyarakat penyiaran (Bab II Pasal 2 P3SPS).

Menurut hemat penulis, nilai-nilai ini bersifat multi interpretasi. Tafsiran akan meluas, berdasarkan kepentingan setiap kelompok penafsir. Inilah yang disebut dengan relativisme norma.

Akibatnya, penetapan pelanggaran pun harus dilihat secara ekstensif. Artinya, banyak variabel, faktor, serta dimensi yang harus diperhitungkan sebelum sebuah tayangan dikategorikan sebagai "telah melakukan pelanggaran".
Secara sinis dan apriori Nietzche mengatakan bahwa perspektivisme semacam itu membuat kepastian menjadi hal yang mustahil. Padahal, dalam relativisme tidak selalu berarti tidak ada kebenaran objektif.

Tekanan lain yang mungkin akan dialami KPI adalah yang berasal lembaga politik ataupun lembaga pemerintahan? Kecemasan politikus ataupun pemerintah bukan tidak mungkin menghasilkan tekanan tertentu kepada KPI. Sebab, tayangan non-faktual pun bisa saja dilabeli "berbahaya" oleh pemerintah. Apalagi tayangan yang bersifat fiktif pun dapat pula dianggap sebagai representasi realitas, dan mampu memberikan pengar7uh kepada penonton televisi.

Konsekuensinya, ketika tayangan non-faktual tersebut menyinggung atau mengusik eksistensi pemerintah, maka pemerintah akan memandang betapa perlu dilakukan sensor.
Dalam kondisi demikian, menurut hemat penulis, KPI harus bertindak bijaksana dalam "mempertemukan" kepentingan-kepenitngan itu. Tuduhan yang mungkin muncul apabila KPI tidak bertindak bijaksana, adalah pertama, KPI dituduh sebagai agen "perusak moral" bangsa.


Kedua, KPI akan dianggap tidak bisa bersikap independen dan cenderung "membatasi kreativitas" dan "kebebasan berkespresi", atau KPI dianggap sebagai perpanjangan pemerintah yang bekerja untuk kepentingan kekuasaan.

Hal lain yang harus dipertanyakan adalah, sejauh mana KPI dapat melakukan "tekanan" terhadap lembaga penyiaran yang ada. Di era kapitalisasi media seperti sekarang, tampaknya pemberian sangsi terhadap lembaga penyiaran yang memberikan efek jera, kecil kemungkinannya.

Pasalnya, banyak tayangan di televisi yang memang melibatkan kapital yang sangat besar. Kapitalisasi yang kuat nyaris tidak memungkinkan sebuah tayangan disensor, ataupun dihentikan begitu saja.

Seperti sudah mahfum, di dunia televisi, semuanya menjadi komodifikasi. Graeme Burton mengatakan bahwa komodifikasi diterapkan pada artefak kultural berupa program-program televisi. Dalam dunia komodifikasi semua memiliki nilai material, semua diperjualbelikan. Di dalamnya terlibat perputaran uang yang sangat tinggi.

Jadi, jika terjadi penghentian tayangan, akan terjadi kerugian yang sangat besar, yang terkait dengan banyak pihak. Jadi, sulit bagi lembaga penyiaran untuk "tunduk" begitu saja kepada teguran KPI.

Jika kondisinya begitu, maka KPI harus memiliki "daya paksa" yang lebih untuk membuat lembaga penyiaran tersebut mematuhi P3SPS. Masyarakat tentu tidak mau jika KPI menjadi lembaga yang impoten. KPI harus mandiri, memilki integritas, resisten terhadap intervensi pihak-pihak lain, berwibawa, memiliki "kemampuan untuk memaksa", dan disegani.
Kita tunggu saja bagaimana KPI memainkan perannya agar tayangan yang ada lebih membawa manfaat.***