Selasa, 29 April 2008

Kisah Para Meno di Timika, Sebuah Paradok Modernitas

Kehadiran sebuah perusahaan multinasional di Papua seyogyanya membawa perubahan yang baik untuk masyarakat Papua. Masyarakat yang sebelumnya terbelakang harus menjadi masyarakat yang lebih beradab, masyarakat yang sebelum tidak mengenal pendidikan menjadi masyarakat yang melek pendidikan, masyarakat yang tingkat ekonominya sangat rendah, harus berubah menjadi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Diharapkan, perubahan-perubahan itu terus merembes ke segi-segi kehidupan lainnya.

Paling tidak itulah yang dicita-citakan Pemerintah Indonesia ketika untuk pertama kalinya menandatangani kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia pada tahun 1967. Bahkan kontrak ke dua ditandatangani pada akhir tahun 1991. Dengan kesepakatan ini, Pemerintah Indonesia memberikan ijin kepada salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia itu untuk beropreasi di Indonesia hingga 30 tahun kemudian.

Mengapa Pemerintah Indonesia begitu bernafsu untuk memperpanjang kontrak dengan PT Freeport Indonesia? Jawabannya sederhana, agar pajak yang sangat besar bisa tetap masuk ke kantong negara. Di sisi lain justifikasi dari kesepakatan di atas adalah, demi memacu pertumbuhan ekonomi dengan membuka penanaman modal asing. Di sini, pembangunan menjadi basis ideologi negara, muaranya pertumbuhan ekonomi mendapat prioritas utama. Sementara itu, ideologi di luar itu dianggap haram.

Kenyataan ini menunjukkan betapa kuatnya ketergantungan Indonesia pada modal asing, dalam hal ini Amerika Serikat. Ketergantungan yang besar ini mengakibatkan dominasi asing tidak dapat ditolak lagi.

Namun di balik itu semua, disadari atau tidak, Pemerintah Indonesia tengah melakukan “persekongkolan” dengan bentuk kolonialisme baru yang sudah lama dilakuakan oleh negara Barat terhadap negara Dunia Ketiga atas nama modernisme. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah eksploitasi transnasional.

Hal inilah yang kemudian dikritk oleh kaum Neo-Marxis yang menyatakan bahwa modernisme tidak lain dari legitimasin intervensi Amerika terhadap kepentingan Negara Dunia ke Tiga. Menurut kaum Neo-Marxis, negara akan terbebas dari kolonialisme jika secara ekonomis, politis dan budaya tidak berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat. Bahkan para pengkritik teori modernisasi menyebutkan bahwa kehadiran perusahaan mulitnasional di negara Dunia Ketiga adalah bentuk kolonialisme.

Ketika PT Freeport Indonesia hadir, sejumlah perubahan kecil memang terjadi. Ini terlihat dari sejumlah karyawan di PT Freeport Indonesia yang berasal dari Papua. Mereka memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan tambang tersebut dengan pendapatan yang memadai. Pada akhir tahun 2005, perusahaan yang mulai beroperasi di Indonesia tahun 1971 memperkerjakan hampir 2.400 karyawan asal Papua. Jumlah ini memang jauh bertambah jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

Kemudian, PT Freeport Indonesia juga tercatat menyediakan sejumlah pelatihan berkisar program dasar baca tulis (melek huruf) dan berhitung sampai program “pramagang” bagi mereka yang belum pernah mengikuti program kerja.

Selain itu, PT Freeport Indonesia juga memiliki sejumlah program beasiswa pendidikan bagi karyawannya. Mereka dikirim ke sejumlah perguruan tinggi, baik di Jawa maupun di luar negeri seperti Australia. Bahkan perusahan ini memberikan sejumlah dana untuk perbaikan pendidikan masyarakat di Timika, mulai dari pemberian beasiswa hingga sumbangan untuk sekolah-sekolah yang ada di sana.

Tercerabut
Namun di balik apa yang disebut sebagai kemajuan itu, kehadiran PT Freeport Indonesia ternyata tidak sepenuhnya memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang terjadi justru terbukti ikut mengguncang sendi-sendi kultural masyarakat Papua. Hal ini terjadi seiring dengan mulai masuknya berbagai bentuk kebudayaan baru dari luar sistem budaya masyarakat Papua, mulai dari nilai, cara bicara, cara bergaul, cara berpakaian hingga gaya hidup.

Secara kompleks, kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua perlahan-lahan telah membuat masyarakat Papua tercerabut dari akar budayanya. Bahkan lebih jauh masyarakat Papua mengalami keterasingan di wilayah geografisnya sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat Papua telah kehilangan keterkaitan yang erat dengan basis-basis kebudayaan mereka sendiri. Nilai-nilai baru segera diadaptasi, dan dianggap memiliki nilai yang lebih baik, lebih maju, dan modern. Di sini sebuah kebudayaan baru akan dianggap sebagai penyempurna kebudayaan lama.

Adaptif
Perubahan ini tentu tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Indoensia yang gencar mensosialisasikan perubahan di Papua. Mengapa begitu? Sebab selama bertahun-tahun, pemerintah menganggap masyarakat Papua sebagai masyarakat terbelakang (uncivilized) sehingga karenanya harus dilakukan perubahan agar mereka mencapai suatu taraf apa yang disebut dengan beradab dan berbudaya (civilized). Hal ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh J Boeke bahwa salah satau kondisi yang sulit mengubah masyarakat ke arah yang lebih maju adalah sifat anti-rasional, yakni ketika penduduk perhatian penduduk kepada hal-hal yang tidak berhubungan dengan dunia nyata dan pandangan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari warisan budaya dan spiritual masyarakat Timur (Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde baru, 1990).

Hal inilah yang membuat pemerintah RI kala itu berusaha keras untuk mengubah keadaan di Papua. Selintas, apa yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Indonesia adalah benar. Apalagi jika kta menilik teori oleh Samuel Huntington yang mengatakan bahwa modernisasi diartikan sebagai proses tranformasi. Untuk mencapai titik modern, nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan struktur dan nilai-nilai moderen. Bahkan untuk itu menyakini bahwa “modern” dan “tradisional” sebagai dua konsep yang sebenarnya saling bertentangan (asimetris) (lihat Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994).

Sejak itu nilai-nilai baru diperkenalkan, dan kebudayaan baru yang dianggap lebih tinggi disosialisasikan. Pemerintah Indonesia melakukan perubahan secara revolutif agar masyarakat Papua menjadi masayarakat yang “lebih maju” dan modern. Pemerintah Indonesia berharap masyarakat Papua dapat bergerak menuju keadaan yang lebih maju.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong perubahan pada masyarakat Papua adalah dengan melakukan gerakan “operasi koteka”. Dalam gerakan ini masyarakat di pegunungan dihimbau untuk melepaskan koteka mereka dan menggantikannya dengan pakaian biasa.
Himbauan ini ternyata dapat diterima oleh sebagian masyarakat, tentu saja tidak sedikit yang habis-habisan menolaknya (Kompas, 3 September 2007).

Menariknya, setelah bertahun-tahun pemerintah Indonesia mensosialisasikan perubahan, masyarakat Papua menjadi adaptif dalam menerima perubahan. Artinya gerakan perubahan yang dilancarkan oleh pemerintah lebih dapat diterima dari pada. Sesekali konflik memang muncul. Namun konflik yang terjadi cenderung horisontal, bukan vertikal, misalnya saja perang antar suku atau kelompok masyarakat.

Mengapa masyarakat Papua dikaytakan adaptif? Untuk menjawab itu, pendapat Michael R Dove dapat menjawabnya. Menurut Michael R Dove, masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis. Masyarakat tradisional tersebut selalu mengalami perubahan sosial yang terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya (lihat Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994 hal 66).

Dengan begitu, jika kemudian masyarakat Timika dengan mudahnya dapat mengadaptasi nilai-nilai atau kebiasaan baru, hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar. Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ignas Kleden bahwa perubahan akan lebih mudah terjadi jika unsur kebudayaan baru tidak ditanggapi sebagai pengaruh baru yang membahayakan kebudayaan lama, tetapi sebagai lanjutan dan penyempurnaan budaya lama. Sebaliknya, jika unsur-unsur kebudayaan baru itu ditanggapi sebagai pengaruh yang membahayakan kebudayaan lama, maka aka timbul resistensi bahkan penolakan dari kebudayaan lama (Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, 1987 hal 186).

Sayangnya, kecenderungan ini tidak dibarengi dengan kuatnya basis-basis nilai tradisional yang tertanam pada masyarakat Timika. Akibatnya budaya baru yang diresepsi tidak lagi mengalami filterisasi. Nilai-nilai itu akhirnya diadopsi tanpa memperoleh sterilisasi melalui kearifan-kearifan lokal yang ada. Muaranya, masyarakat mengalami ketegangan budaya.

Kemampuan masyarakat Papua di pegunungan yang jauh tertinggal dengan para pendatang misalnua, telah memproduksi persoalan tertentu. Dalam hal pertanian contohnya, pendatang dari jawa lebih menguasai teknologi pertanian akan lebih mudah menggarap tanah untuk memperoduksi hasil yang maksimal, sementara pertanian penduduk asli tidak menunjukkan hasil yang lebih. Hal ini dapat menjadi pemicu konflik, ketegangan dan kesenjangan.

Lalu, ketertinggalan dalam pendidikan pun memicu sejumlah masalah. Akibatnya penduduk asli Papua harus berusaha keras bersaing dengan para pendatang untuk memperoleh hak ekonomi. Banyak yang kalah dalam persaiangan ini. Lihat saja ketika penduduk asli Papua “turun gunung” mereka menjadi kaum urban yang terpaksa menjadi tukang becak, tukang ojek, atau buruh kasar.

Pandangan sempit
Lalu bagaimana perspektif modernisasi menatap persoalan ini? Semestinya kehadiran PT Freeport Indonesia membawa dampak yang positif bagi masyarakat Timika, dengan kata lain membawa para pendulang emas itu ke arah yang lebih modern. Namun kenyataannya tidak demikian. Pertanyaan adalah, mengapa hal dapat terjadi. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba melihatnya dengan teropong teori fungsional dari Talcott Parsons.

Bagi Parsons, masyarakat tak ubahnya organ tubuh manusia, dan oleh karena itu masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia. Konsekuensinya, seperti struktur tubuh manusia, kelembagaan dalam masyarakat memiliki ketergantungan satu sama lain. Hal ini melibatkan konsepsi sistem, untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, jika terjadi perubahan dalam salah satu sub sisitem atau kelembagaan masyarakat, maka perubahan juga harus terjadi pada sub sistem lain. Jika tidak, maka terjadilah apa yang disebut dengan ketidakseimbangan.

Berangkat dari teori fungsionalisme ini, yang banyak dijadikan acuan pokok dalam modernisasi, kita bisa melihat bahwa fenomena para pendulang emas di Timika dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar, perubahan tingkat ekonomi para pendulang emas secara drastis, tanpa diikuti perubahan di sisi lain, misalnya saja pemahaman mereka soal membangun masa depan, pentingnya menabung ataupun menginvestasikan uang, justru telah memorakporandakan kehidupan mereka sendiri. Artinya perubahan secara parsial di dalam masyarakat Timika tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Penulis juga ingin melihat fenomena teori motivasi berprestasi yang dikemukakan oleh David McClelland. Menurut McClelland, motivasi berprestasi atau kebutuhan berprestasi adalah keinginan yangkuat untuk mencapai prestasi yang gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berpikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya (Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994) Memang teori tersebut memberikan aksentuasi pada kegiatan para wiraswastawan, namun demikian, di sini penulis mencoba mengimplementasikannya pada mereka yang bukan wiraswastawan.

Dari teori ini, kita dapat menilai bahwa salah satu sebab tidak terjadinya perubahan ekonomi pada para pendulang emas di Timika, Papua, berkait erat dengan motivasi berprestasi. Memang belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa world of view dan kebudayaaan masyarakat Papua tidak memiliki motivasi berprestasi. Tetapi dari fakta yang ditulis di Kompas menunjukkan bahwa para pendulang emas itu tidak memiliki motivasi untuk lebih maju dan berubah ke arah yang lebih baik, seperti dikutip oleh Kompas, …Waker mengisahkan, setelah mendapatkan uang hasil menjual emas, mereka bisasa menyewa mobil. Mengajak teman-teman dan saudara. Minuman keras dibeli banyak-banyak. Bisa beberapa krat, hingga mobiul penuh sesak. Lalu keliling kota sambil minum. Pesta biasa diakhiri di Kilo 10 (lokalisasi di Timika).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pandangan dunia para pendulang emas memang sempit. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan jangka panjang, dihabiskan hanya dalam waktu sesaat. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa para pendulang emas tersebut tidak memiliki cara pandangan ke depan. Kenyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi masyarakat modern menurut Alex Inkeles.

Menurut Inkeles, salah satu ciri masyasrakat modern adalah memiliki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh di depan, dan mengetahui apa yang akan mereka capai dalam waktu lima tahun ke depan misalnya (Suwarsono dan Alvin Y SO dalam Perubahan Sosial dan Pembangunan, 1994).

Namun ciri ideal Inkeles ini tidak terjadi pada para pendulang emas di Timika. Mereka seakan hidup untuk hari itu saja. Tidak terbukanya pikiran mereka untuk melihat ke depan, akhirnya menjadi pengalang bagi mereka sendiri untuk maju. Kita kira ini adalah sebuah paradok. Ketika PT Freeport Indonsia, sebagai representasi modernitas hadir, para pendulang emas di Timika justru tetap memiliki pola pikir yang lama. Parahnya lagi, kemajuan secara ekonomis tidak juga tercapai. Padahal, berangkat dari teori trickle down effect, seharusnya para pendulang emas dan masyarakat sekitar PT Freeport Indonesia memperoleh kesejahteraan ekonomi. Sayangnya, hal ini tidak menemui kenyataan empiriknya.

Dengan begitu, benar apa yang disebuatkan oleh mantan sekjen pertama Rights and Humanity Julia Hausserman. Right and Humanity adalah sebuah gerakan internasional yang mempromosikan dan merealisasikan hak-hak dan tanggung jawab manusia. Hausermann menyebutkan, di sejumlah negara muncul kecenderungan menggelisahkan ke arah konsentarsi memacu pertumbuhan ekonomi negara secara keseluruhan, dan bukan memperkuat basis-basis kesejahteraan rakyat. Argumennya, sebuah pertumbuhan ekonomi yang meledak maju (booming) akan merembes ke bawah, ke sektor-sektor masyarakat miskin dan tidak beruntung, sehingga hak dan kebutuhan mereka dengan sendirinya akan terpenuhi dan terangkat.

Sayangnya, demikian Hausermann, tanpa adanya basis-basis kesejahteraan yang jelas, keadaannya seringkali menjadi sebaliknya, yang miskin semakin miskin, sedangkan keuntungan pertumbuhan ekonomi hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Dengan begitu, “trickle down effect” tidak selalu cocok diterapkan di negera-negara berkembang, dan mungkin hanya cocok diterapkan di beberapa negara industri (lihat Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor 1994 hal. 263).

Tatapan Teori Dependensi
Merayakan Ketergantungan Tanpa Akhir
Juga menarik untuk melihat keberadaan PT Freeport Indonesia dari perspektif teori dependensi dalam pembangunan. Untuk itu, penulis mencoba untuk membuktikan teori ketergantungan yang dikemukakan oleh Dos Santos.

Dos Santos menyebutkan, hubungan antar negara dominan (dominant countries) dan negara tergantung (dependent countries) akan menjadi hubungan yang tidak egaliter. Malah, yang terjadi adalah biaya pembangunan di negara dominan sesungguhnya dibiayai oleh negara tergantung. Selanjutnya surplus ekonomi di negara tergantung akan mengalir dan berpindah ke negara dominan. Bagi negara tergantung, pemindahan ini mengakibatkan tidak dapat berkembangnya pasar dalam negeri, menghambat kemampuan teknik dan memperlemah keadilan budayanya.

Apa yang dikemukakan oleh Dos Santos terjadi juga ketika berbicara mengenai kehadiran PT Freeport Indonesia di Indonesia. PT Freeport Indonesia yang merupakan ekstensi Amerika di Indonesia, juga telag melakukan praktek yang sama. Keberadaannya di Indonesia yang sudah lebih dari 30 tahun, jelas-jelas telah mengeruk kekayaan tambang di Timika, dan mengalirkannya secara deras ke Amerika. Apalagi dalam hal ini PT Freeport Indonesia berhasil memonopoli usaha pertambangan di Timika. Hasilnya, tambang yang idealnya dapat dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia, justru tidak dapat dinikmati sepenuhnya dengan merata. Bahkan, penduduk lokal yang menurut logika dapat mengecap hasilnya, ternyata tidak pernah mendapatkan apa-apa.

Ketidakmampuan dalam teknologi yang kemudian disebut ketergantungan tekonologi, telah membuat hubungan Indonesia dan Amerika, tidak sejajar. Artinya Indonesia bergantung sepenuhnya pertama-tama pada kecanggihan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi tambang, dan juga ketergantungan pada permodalan. Akibatnya pemerintah Indonesia sangat sulit untuk melepaskan diri dari ikatan ketergantungan dengan PT Freeport Indonesia. Hal ini membuat Indonesia hanya dapat merayakan sebuah ketergantungan tanpa akhir.

Namun menarik untuk mencermati teori dependensi baru yang dikemukakan oleh FH Cardoso. Dalam teori dependensi baru yang digagas oleh Cordoso ketergantungan tidak selalu berarti keterbelakangan, tetapi sebagai suatu metode untuk menganalisa situasi konkret Negara Dunia Ketiga, yaitu mencoba mengetahui asal mula terjadinya ketergantungan tersebut.

Selanjutnya Cordoso juga melihat bahwa situasi ketergantungan justru sebagai proses yang memiliki berbagai kemungkinan akhir yang terbuka. Jika struktur ketergantungan memberikan memberikan batas ruang lingkup kemungkinan perubahan, maka perjuangan kelas dan campur tangan negara dapat melonggarkan batas tersebut, bahkan transformasi struktural, atau malah menggantikannya dengan yang baru yang tidak diprediksi sebelumnya. Di sini Cordoso melihat bahwa Negara Dunia Ketiga masih memiliki peluang untuk mencapai apa yang disebut sebagai pembangunan yang bergantung (associated-dependent develepoment).

Dalam batas-batas tertentu, demikian Cardoso, kepentingan modal asing dapat bersesuaian dengan kemakmuran negara pinggiran. Dengan pengertian ini, perusahaan multinasional akan membantu proses pembangunan negara pinggiran.

Berangkat dari teori ini, seharusnya kehadiran PT Freeport Indonesia dapat melakukan peran yang lebih dari sekarang. Seharusnya ada sebuah hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia. Hal ini dapat diukur dengan melihat sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang dicapai pemerintah Indonesia dalam skala makro. Namun sayangnya apa yang diharapkan tidak terwujud . Lalu apa yang salah?

Menurut hemat penulis, tidak adanya kesamaan visi antara PT Freeport Indoenesia denga pemerintah Indonsia merupakan faktor utama. Di sisi pemerintah, ada ketergesaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan dampak-dampak sosial-politik yang akan timbul. Sedangkan di sisi PT Freeport Indonesia, ada semacam nafsu untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada tanpa keinginan untuk memberikan sumbangan yang lebih besar bagi pembangunan Indonesia. Keuntungan besar menjadi panglima. Hubungan yang dinamis dan koeksistensial tidak terjadi di sini.

Mungkin salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah dengan menyamakan visi. Di sini perlu adanya sebuah gerakan untuk menata perbaikan secara bersamaan (lihat Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Kanisius, 2000 hal. 211). Solidaritas antara negara dominan dan negara bergantung sangat memegang peranan penting. Tentu saja hubungan ini sangat ideal dan normatif dan tidak selalu menjadi cara pandang negara dominan.

Mengapa solidaritas menjadi sangat penting? Penyebabnya adalah, karena di dunia ini telah tercipta sebuah ketergantungan global yang menuntut adanya hubungan ekonomi internasional yang memungkinkan semakin banyak kelompok terlibat dalam kerja sama dan saling pengertian, demikian Sindhunata.

Intevensionis yang Mencengangkan
Di samping itu, menarik juga untuk menelaah fenomena PT Freeport Indonesia dari hasil kajian Mohtar Maso’oed mengenai Negara Birokratik Otoriter. Menurut Mas’oed, dominasi rezim yang represif dan cenderung melakukan depolitisasi maupun demobilisasi massa adalah konsekuensi logis dari “pembangunanisme” yang dianut Indonesia di tahun 1970-an. Dengan kata lain, untuk meredam aksi rakyat dan penentangan kebijakan pembangunan, pemerintah--dibantu militer--harus melakukan tindakan-tidakan otoriter.

Apa yang dikemukakan oleh Mas’oed ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Peter McCawley, bahwa menjelang 1969 terlihat adanya kecenderungan ke arah kebijaksanaan intervensionis (lebih banyak campur tangan pemerintah). Pada tahun 1970-an kecenderungan ini semakin jelas.

Hasil dari kebijakan ini cukup mencengangkan, kemajuan berbagai sektor menunjukan perkembangan yang mencolok. Produksi beras di Jawa misalnya, dari tahun 1968 hingga 1978, naik dari 7,07 juta ton beras menjadi 10,67 juta ton beras (Peter McCawley dalam Ekonomi Orde Baru). Lalu, kemajuan di sejumlah sektor industri pun menunjukkan laju pertumbuhan yang luar biasa. Dari fakta ini dapat ditafsirkan, rezim yang otoriter dan represif justru telah membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Hal yang menjadi pertanyaan, ketika Indonesia memasuki masa reformasi (sejak 1998) keadaan ekonomi Indonesia yang kala itu tengah mengalami kemunduran, hingga kini tidak juga mengalami kemajuan yang berarti. Malah tidak sedikit pihak yang meramalkan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan pernah mengalami kemajuan lagi, alias Indonesia sebagai sebuah negara sudah bangkrut.

Lalu pertanyaannya, apakah Indonsia harus kembali memberlakukan Negara Birokratik Otoriter--meski sistem ini juga memiliki banyak kelemahan--agar percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lagi, termasuk dalam persoalan PT Freeport Indonesia? Konkretnya, apakah pemerintah kembali menekan pihak-pihak yang menentang kehadiran perusahaan tambang tersebut (baik dari parlemen, organisasi kemasyarakatan ataupun pers) agar perusahaan tersebut dapat dengan bebas beroperasi di Indonesia?
Hal ini tentu tidak bisa dijawab sesaat, perlu banyak lagi kajian yang harus dilakukan agar masalah pembangunan di Indonesia dapat diselesaikan secara komprehensif. Masalahnya pun menjadi kompleks.

Kendati demikian, di tengah perubahan-perubahan global, dimana teknologi komunikasi telah membuat jarak geografis hampir menyempit, kita harus belajar dari Thomas L Friedman. Menurutnya di dunia--yang ia sebut semakin datar--Negara Dunia Ketiga mesti mesti melakukan sesuatu yakni reformasi mikro (reform retail). Bagi Friedmanm reformasi mikro lebih dari sekadar membuka diri ke arah perdagangan dan menarik modal asing, tetapi juga melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap infrastruktur pendidikan maupun pemerintahan. Dengan begitu, alam pandangan Friedman, akan semakin banyak orang memiliki bekal yang membuat mereka mampu berinovasi dan bekerja sama pada tingkat tinggi (lihat Thomas L Friedman dalam The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke-21, Dian Rakyat, 2006 hal. 468).***


Sinopsis Berita HU Kompas (13 September 2007)

Tulisan (feature) yang diambil dari harian umum Kompas (Sabtu, 13 September 2007) dengan judul “Meno” Kaya Tidur di Selokan ini, mengisahkan nasib para pendulang emas di Sungai Aghawagon di Mimika, Kabupaten Timika, Provinsi Papua. Sungai Aghawagong sendiri merupakan aliran pembuangan tailing PT Freeport Indonesia.

Para pendulang ini biasanya berasal dari suku-suku di dataran tinggi (highland) di Papua dan pendatang dari luar Papua. Dari tahun ke tahun jumlah pendulang ini semakin banyak. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 13.000 orang. Padahal, tiga tahun sebelumnya jumlah keseluruhan pendulang hanya 1.086 orang saja.

Kemungkinan, hal tersebut diakibatkan pendapatan yang cukup menggiurkan dari hasil mendulang ini. Bagaimana tidak, alam feature ini diceritakan bagaimana para pendulang itu bisa meraih uang hingga 2 juta rupiah dalam sehari. Bahkan jika sedang beruntung, seorang pendulang bisa mengantongi uang hingga 10 juta rupiah.

Namun sayangnya hal ini tidak membawa kesejahteraan bagi para pendulang tersebut. Penyebabnya adalah, mereka tidak menggunakan pendapatannya dengan baik. Uang yang mereka peroleh dihabiskan untuk membeli minuman keras untuk mabuk-mabukan, dan pergi ke tempat pelacuran. Semua uang yang mereka miliki habis untuk keperluan ini.
Ironisnya, jika sudah mabuk-mabukan, mereka hanya bisa tergolek di tepi jalan. Tidak jarang mereka kedapatan tidur di selokan. Padahal, jika saja uang yang mereka peroleh digunakan sebaik mungkin, hal seperti itu tidak perlu terjadi.

Keadaan ini seperti sulit diubah. Hal itu seperti sudah menjadi gaya hidup seiring dengan berubahnya orientasi spiritual mereka. Hancurnya tempat sakral mereka karena kehadiran PT Freeport Indonesia semakin membuat para pendulang kehilangan arah dalam menjalankan hidupnya.

***

Daftar Pustaka

Anne Booth dan Peter Mc Cawley, Ekonomi Orde Baru, LP3ES, 1990
Friedman, Thomas L, The World is flat, Sejarah Ringkas Abad ke-21, Dian Rakyar, 2006
Suwarsono dan Alvin Y SO, Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, 1994
Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Kanisius 2000
Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai,
Yayasan Obor Indonesia 1994
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, 1987

Makalah
Stereotip Etnis Masyarakat Papua Terhadap Transmigran oleh DR LA Pona Msi, Staf pengajar Universitas Cendrawasih.

Internet
http://www.ptfi.co.id/social/pelayanan_kesehatan.asp 17 Sepetember 2007 pukul 08.18
http://www.ptfi.com/about/default.asp%2017%20September%202007%2008.2
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/07/Fokus/547096.htm%2014.23 7 September 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/07/Fokus/545218.htm%2014.41 17 September 2007

Tidak ada komentar: