Kamis, 01 Mei 2008

Cyberspace dan Matinya Realitas

Sejak internet dikenal dengan begitu populer, saya melihat ada sebuah revolusi baru dalam dunia komunikasi. Dengan hadirnya internet, waktu dan jarak dipersingkat. Untuk berkomunikasi misalnya, dengam biaya sangat murah, seseorang dapat bertukar informasi dengan sangat cepat, misalnya dengan chatting. Bahkan sejumlah perangkat komunikasi messengger semacam ini, seseorang dapat melakukan komunikasi secara audio. Wajar jika perkembangan internet tersebut dunia sekan telah dilipat. Jarak dan waktu telah dipangkas habis.

Bahkan Thomas L Friedman mengatakan bahwa internet adalah salah satu pendatar dalam era globalisasi. Hal inilah yang membuat investor melihat hal ini sebuah peluang bisnis, sebuah gelembung (bubble) yang sepertinya tidak terbatas. Mengapa demikian? Mereka melihat adanya sebuah kecenderungan orang untuk mendigitalkan segalah hal, mengubahnya menjadi byte dan ditransmisikan melelaui internet. Dengan begitu, permintaan akan layanan web serta serat optik akan terus meningkat tanpa henti (Friedman, 2006).

Melihat hal ini Bill Gates sendiri menganggap internet tidak ada bedanya dengan demam emas di Amerika di masa lampau. Ia menggambarkan bahwa ketika demam emas terjadi, yang justru menghasilkan uang adalah industri pendukung demam emas seperti perusahaan pembuat sekop, Levi’s, dan kamar-kamar hotel. Investasi di bidang-bidang ini justru lebih besar dari industri emas itu sendiri (Friedman, 2006).

Hal di atas menggambarkan betapa menggiurkannya investasi di dunia pendukung internet ini, misalnya saja di bidang industi serat kabel optik yang ditanam di laut yang secara dramatis telah memangkas biaya pengirman data ke seluruh dunia.

Kenyataan ini bergerak pada penggunaan intenet itu sendiri. Orang mulai memikirkan bagaimana memberdayakan internet dan menghasilkan keuntungan yang besar. Dari sinilah kemudian muncul Teori Long Tail yang dikemukakan oleh Chris Anderson, bahwa dengan internetlah pasar-pasar khusus, niche, dapat diraih.

Teori Long Tail sendiri oleh Chris Anderson didefinisikan sebagai berikut: bergesernya kultur dan ekonomi kita yang terus menjauh dari fokus terhadap sejumlah hit yang relatif sedikit (produk-produk dan pasar-pasar utama) di bagian Head pada kurva permintaan, dan beralih ke pasar-pasar khusus (niche) yang banyak sekali di bagian Tail (Anderson, 2007).

Tidak hanya di bidang eskonomi, dengan internet, akses informasi pun terbuka semakin lebar. Sejumlah mesin pencari (search engine), seperti Google ataupun Yahoo!, telah memudahkan seseorang untuk menemukan informasi yang nyaris tidak terbatas di dunia maya. Begitu pula dengan Wikipedia (Wiki diambil dari istilah Hawaii yang berarti ”cepat”) yang menyediakan berbagai pengetahuan layaknya ensiklopedia.

Pengingakaran dunia ril
Di sini kita bisa melihat bahwa gelombang internet telah mengubah wajah dunia. Ada peluang-peluang baru, ada kecenderungan-kecenderungan baru, dan ada harapan-harapan baru di sana--bahkan kontroversi-kontroversi baru, dimana terjadi akumulasi hitungan-hitungan kapital yang sangat besar. Perlahan-lahan sebuah pasar besar sedang terbentuk.

Di samping itu, internet yang menciptakan dunia cyber, telah membangun sebuah realitas cyber yang berbeda dengan realitas sosiologis sehari-hari. Dalam dunia cyber telah terbangun suatu masyarakat cyber dengan ideologi, nilai-nilai, etika dan bahkan filosofi yang berbeda dengan yang dianut oleh masyarakat.

Contoh sederhananya saja, dunia bermain. Dalam realitas sosiologis, bermain biasanya dilakukan di luar rumah, bersama dengan teman-teman, di tempat yang sama secara bersama-sama. Namun di dalam masyarkat cyber, bermain dapat dilakukan secara soliter di depan komputer, meskipun pada saat yang bersmaan ia tengah berinterkasi dalam sebuah ”permainan” dengan orang lain yang mungkin sedang berada di belahan dunia lain.

Dari sini kita bisa mengira, realitas cyber merupakan bentuk pengingkaran dari dunia ril. Namun demikian, orang tetap merasa betah berada di dunia maya ini. Dunia maya seakan menjadi dunia kedua mereka, yang lebih merdeka, lebih bebas, lebih demokratis, dan lebih fleksibel terhadap segala hal. Fleksibel yang dimaksud adalah, banyak hal-hal yang tidak dapat dilakukan di dunia ril karena batas-batas etika atau ketentuan moral, justru dapat dilakukan di dunia maya (Reza Antonius dalamMenggagas Cyberspace Sebagai Ruang Publik Virtual yang Emansipatif; Cultural Studies, 2007). Menurut Straubhaar dalam Media Now, kenyataan seperti inilah yang disebut masyarakat pada era-postmodern.

Jelaslah, teknologi cyberspace telah menimbukan berbagai perubahan pada aspek kehidupan sosial. Menurut Yasraf Amir Piliang, ada tiga tingkat pengaruh dari cyberspace secara sosial, yaitu di tingkat individu (personal), tingkat antar-individu (interpersonal), dan tingkat masyarakat (social) (Piliang, 2004).

Public sphere
Hal lain yang menarik dari dunia internet adalah terciptanya ruang publik yang yang lebih bebas, dimana pertukaran ide dan gagasan dapat terjadi dengan bebas tanpa batasan, baik antar individu maupaun kelompok. Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang merupakan generasi kedua Mazhab Frankfurt, bahwa konsep ruang publik (public sphere) adalah keterbukaan dalam komunikasi.

Menurut Habermas, masyarakat demokratis harus mengakui akses yang terbuka, sikap voluntir, partisipasi di luar peran kelembagaan, penciptaan opini publik yang melibatkan masyarakat luas di dalam perdebatan rasional, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan mendiskusikan negara, dan mengritik bagaimana kekuasaan negara dijalankan (Piliang, 2004).

Hal lain yang menarik untuk diperbincangkan dalam buku Media Now adalah persoalan digital divide. Artinya, akan terjadi kesenjangan antara mereka yang dapat mengakses informasi dari media-media digital, dengan orang-orang yang tidak dapat melakukannya. Meski penulis tidak tahu dengan pasti berapa jumlah masyarakat Indonesia yang melek internet, tetapi dengan melihat kondisi ekonomi secara umum pada masyarakat, tampaknya masih lebih sedikit orang yang melek internet ketimbang yang tidak.

Contoh konkeretnya adalah, kini saya lebih banyak menemukan perusahaan yang mensyaratkan informasi lowongan pekerjaan lewat internet, termasuk dalam mekanisme pengiriman dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat lamaran pekerjaan. Ini artinya, hanya mereka yang melek internetlah yang lebih banyak memiliki kesempatan untuk bekerja di perusahaan tersebut dari pada yang tidak. Kemudian, hanya orang-orang yang memiliki dana lebih untuk mengakses intrnetlah yang lebih menguasai informasi dan memperoleh banyak pengetahuan.

Jadi untuk kasus Indonesia, digital divide masih menjadi persoalan yang mungkin masih belum menemukan cara penyelesaiannya. Persoalan digital divide ini mungkin hanya akan selesai jika pendapat per kapita masyarakat Indonesia naik secara signifkan.
Di Amerika, persoalan diskriminasi akibat ketidakadilan dalama akses terhadap media cyber ini masih menjadi isu sub-politik hangat untuk terus diwacanakan. Indonesia, yang masih relatif baru alam memasuki era cyberspace, dan tidak memiliki sejarah panjang sains serta teknologi yang memadai, tentu akan menghadapi masalah dan berbagai kontroversi yang jauh lebih besar (Reza Antonius dalam Cultural Studies, 2007).***

Pustaka
1. Anderson, Chris, The Long Tail, Gramedia Pustaka Utama 2007
2. Freidman, Thomas L, The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad Ke 21, Dian Rakyat, 2007
3. Hardiman, F Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmoderinisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, 1993
4. Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Berlari, Mencari Tuhan-tuhan Digital, Grasindo, 2004
5. Sutrisno, Mudji (editor), Cultural Studies, Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan Koekoesan, 2007

Tidak ada komentar: