Kamis, 01 Mei 2008

Televisi, dari Kekerasan hingga TV Publik

Pada bab 8 buku Media Now, dibahas berbagai hal seputar pertelevisian, mulai dari sejarah, perkembangan-perkembangan dari sisi teknologi, industri, hingga kemungkinan-kemungkinan perubahan televisi di masa datang.

Salah satu bagian yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana televisi telah mengambil sebagian besar kue iklan media massa. Bagi para pengiklan, televisi telah menjadi pilihan pertama untuk pemasangan iklan-iklan dari produk yang diharapkan dapat laku di pasaran. Mereka menganggap beriklan di televisi adalah cara paling efisien dan efektif untuk mencapai konsumen potensial dalam waktu seketika.

Sekadar melongok sejarah, di Amerika televisi telah dilirik oleh para pengiklan sejak tahun 1950 untuk membujuk penonton membeli produk yang ditawarkan. Kala itu Amerika telah memilliki 98 stasiun televisi dengan sekitar 4 juta pesawat televisiyang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saat itu jumakah iklannya telah mencapai $ 170 juta. Bahkan di tahun 1954 jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipatnya, yaitu $ 800 juta, atau sepuluH poersen dari total belanja iklan. Hanya satu tahun kmeudian nilai iklan yang dipasang di televisi mencapai lebih dari $ 1 miliar, dan di tahun 1969 sudah mencapai $ 3,6 juta miliar (Rivers dan Peterson, 2003). Kini rata-rata belanja iklan di negeri itu sekitar $ 5,4 miliar (Straubhaar, 2006).

Di Indoensia sendiri televisi telah menjadi industri dengan investasi, overhead dan turn over yang sangat tinggi. Semyanya didukung oleh iklan yang dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, sekitar 20%-30% dalam setahun (Ishadi, 2001).

Hal ini memperlihatkan bagaimana para pengiklan berani memberi iklan dengan harga yang sangat mahal. Hal ini tentu saja bukan semata-mata biaya produksi televisi yang mahal, tetapi juga karena efek televisi yang sangat hebat untuk memengaruhi dan menanamkan pesan lewat media ini.

Logika ekonomi
Konsekuensi dari kehadiran iklan ini adalah, televisi menganut logika-logika ekonomi. Semua yang disajikan telEvisi harus berorientasi pasar. Artinya, dalam perkembangannya, sajian telvisi menjadi komoditi. Di sini lain pengiklan juga menuntut media memliki audienece yang terus bertambah. Semakin banyak audience yang dimiliki media (misalnya saja readeship) semakin besar kemungkinan pengiklan memilih media tersebut sebagai partner. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan media tersebut memperoleh bagian ”kue iklan”. Kenyataan inilah yang membuat media harus bersaing dan berusaha keras untuk menarik perhatian audiens. Di antara banyak media--cetak maupun elektronik--persaingan menjadi sangat ketat. Semua berusaha untuk mengambil alih perhatian audience.

Banyak hal yang dilakukan oleh media untuk mengambil alih perhatian audience, misalnya saja kecepatan dalam menyajikan berita. Ini didasari suatu asumsi bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan akurat tentang berbagai hal. Namun belakangan kecepatan bukanlah satu-satunya cara untuk merebut perhatian audience. Agar tidak ditinggalakan audience, media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk ke kecenderungan menampilkan hal yang spektakuler dan sensasional. Karena ingin menyentuh banyak audience dan tidak merugikan, maka dicari suatu program dengan format yang dapat menyenangkan semua orang (Haryatmoko, 2007).

Tidak mengherankan jika televisi dianggap sebagai ”obat bius siap pakai” (plug in drug). Bahkan disebut-sebut kecanduan televisi telah menjangikiti orang lebih luas ketimbang kecanduan lain, bahkan lebih menakutkan karena program yang dilihat di tekevisi telah memrogram diri penontonitu sendiri, memengaruhi pandangan mereka terhadap dunia, dam apa yang harus mereka kagumi (Schetner, 2007)

Di sini, hal yang paling penting adalah upaya agar audience dapat menyaksikan sajian yang disodorkan oleh media. Semakin banyak audience yang menyaksikan berita atau program yang ditayangkan, akan semakin mudah media memporleh iklan. Di dunia televisi hal ini diukur dari rating, sedangkan untuk media cetak diukur dengan jumlah pelanggan atau pembaca.
Tentu saja hal ini membuat siapa pun menjadi curiga bahwa media yang ada di sekitar kita telah berevolusi menjadi media komersial dan beroperasi dalam sistem kapitalistik, yang karenanya informasi harus dikemas, didistribusikan dan dijual dengan berbagai cara dan konteks yang menjamin kelanggengan komersial media, yang juga menjamin kelangsungan sistem ekonomi yang memungkinkan segenap kepentingan dalam jaringan yang melekat pada media dapat memaksimalkan keuntungan (Armando dalam Schechter, 2007).

Dedy N Hidayat (Tim LP3ES, 2006), menyikapi hal ini menegaskan bahwa kondisi di atas menjadikan masyarakat atau publik sebagai komoditi sekaligus buruh. Publik ”dijual” kepada pengiklan, sehingga publik memberikan nilai tambah kepada program-program tayangan televisi. Publik tidak pernah menjadi konsumen yang sesungguhnya.

Kekerasan
Hal lain yang tidak kalah menarik untuk dibahas dari bab 8 buku Media Now adalah isi dari tayangan televisi, terutama ketrkaitannya dengan anak-anak. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam televisi, berkecenderiungan melakukan hal yang sama di kemudian hari. Hal inilah yang membuat banyak pihak prihatin. Apalagi, menurut Straubhaar, kekerasan dalam televisi kini semakin mendapat perhatian ketimbang seks.

Wajar saja penulis buku Media Now menyatakan demikian, sebab hasil studi kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat memperlihatkan kekerasan dalam televisi sangat memberikan pengaruh buruk pada anak-anak (Haryatmoko, 2007). Pengaruh buruk tersebut adalah meningkatakan perilaku agresif pada anak-anak, menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan, dan meningkatkan rasa takut.

Untuk merespon ini, pihak yang berwenang mengontrol hal ini sudah sepantasnya melakukan tindakan.Tentu saja dengan mengurangi tayangan berbau kekerasan, apalagi pada jam-jam dimana anak-anak masih memuiliku peluang untuk menyaksikan televisi.

Namun persoalannya kemudian adalah bagaimana mendfinisikan kekerasan itu sendiri.Apakah kekerasan selalu berkaitan dengan bentrokan fisik, ekspose terhadap darah dan luka, maupun kematian saja? Lalau bagaimana dengan acara sport yang mengajarkan sportivitas, namun memperlihatkan kekerasan seperti bentrokan fisik dalam pertandiangan sepak bola? Apakah ini dapat dikategorikan tayangan yang dilarang?

Saya kira, pemerintah atau pihak berwenang akan melakukan pembatasan tindakan kekerasan, seyogyanya temukan dulu batasan-batasan kekerasan yang dimaksud agar tidak memicu rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang akan dikenai tindakan.

Hal yang tidak kalah menarik adalah masalah keberadaan media publik. Dalam buku dismpaikan bahwa media publik terancam keberadaannya. Padahal media publik PBS (Public Broadcasting Service) punya kesempatan untuk berkembang. Danny Schechter (2003) mengutarakan bahwa sesungguhnya media publik dapat memberikan sumbangan besar dalam proses demokratisasi suatu masyarakat.

Namun sayangnya, demikian Schechter, kepercayaan publik Amerika terhadap media publik cenderung menurun. Hal ini disebabkan media publik di negara itu PBS (Public Broadcasting Service) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan publik. Media publik, yang hakikatnya juga diawasi dan didedikasikan kepada publik (Ishadi dalam P Swantoro dkk, 2003), dapat dikembangkan dan dijadikan alternatif. Sejauh ini sejumlah negara telah mengembangkan hal ini seperti Skandinavia, Jerman, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika Serikat. Media-media seperti biasanya independen dan jauh dari kepentingan politik, ekonomi, maupun kelompok sosial tertentu.

Di luar Indonesia konsep media publik ini dianut oleh Inggris dengan BBC (British Broadcasting Commision) dan Jepang dengan NHK-nya. Untuk kasus Indonesia, menurut Ishadi SK, TVRI dan RRI sangat potensial untuk dijadikan media publik. Hal ini mengingat lembaga ini Hanya saja yang dibutuhkan untuk menuju ke arah sana adalah political will dari eksekutif, legislatif dan masyarakat.****

Daftar Pustaka
1. Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Kanisius, 2007
2. Rivers, William, Jay W Jensesn dan T Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media, 2003
3. Schechter, Danny, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia 2007-12-28
4. Tim Redaksi LP3ES, Jurnalisme Liputan 6 SCTV, Antara Peristiwa dan Ruang Publik,
5. LP3ES 2006Swantoro, Humanisme dan Kebebasan Pers, Kompas 2003

Tidak ada komentar: